Jumat, 08 Juni 2012

~**~ WAKTU ~**~

" Antara makan roti kering dengan roti basah , ada waktu yang bisa di manfaatkan untuk bacaan 50 ayat " .



                                                                       


                                                                                                      *  Daud Ath Tho'i rahimahullah  *

Jumat, 09 Desember 2011

~**~ Andai yang Dilantunkan adalah Al-Qur’an ~**~






Imam adz-Dzahabi dalam Kitabnya
Siyar A’lam an-Nubala’ menceritakan kisah taubatnya Zaadzan Abu Amru al-Kindy, seorang ulama senior di kalangan tabi’in,

“Dari Abu Hasyim berkata, “Zaadzan pernah bercerita, “Dahulu aku adalah seorang pemuda yang memiliki suara merdu dan terampil dalam memainkan thanbuur (semacam gitar-pen). Seperti biasa, aku sedang berkumpul dengan kawan-kawanku, ditemani dengan arak dan khamr, sementara aku mendendangkan lagu dan memetik gitarku untuk kawan-kawanku. Ketika itu, Abdullah bin Mas’ud lewat dan memergoki kami. Serta merta beliau memecahkan botol khamr dan gitar, kemudian berkata, “Andai saja yang diperdengarkan dari merdunya suaramu adalah al-Qur’an…”

(versi lain menyebutkan bahwa yang memecahkan botol dan gitar itu adalah Zaadzan sendiri setelah menyadari keteledorannya-pen)

Setelah Ibnu Mas’ud beranjak pergi, aku bertanya kepada teman-temanku, “Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, “Beliau adalah Ibnu Mas’ud, sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.”

Lalu saya memutuskan diri untuk bertaubat, aku mengejar beliau sambil menangis. Aku memegangi ujung bajunya dan berdiri di hadapan beliau, lalu kukatakan, “Demi Allah, aku bertaubat dari apa yang telah kukerjakan dan dari memusuhi Rabbku, aku benar-benar ingin bertaubat!”

Ibnu Mas’ud juga ikut menangis haru dan berkata, “Marhaban, selamat datang sebagai orang yang dicintai oleh Allah ta’ala. Selamat datang sebagai orang yang dicintai oleh Allah.”

(Siyaru A’lam an-Nubalaa’, Imam adz-Dzahabi)

Pada gilirannya, beliau menjadi seorang imam dan qari’ setelah tadinya sebagai pemusik dan penyanyi. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang meriwayatkan hadits.


ar-risalah

Selasa, 06 Desember 2011

~**~ Hukuman Bagi yang Berpaling ~**~






Pernahkah pembaca mendapati orang yang meraih kesuksesan dunia,tapihidup tidak bahagia?Bergelimang materi, tetapi tidak mampu menutupi pancaran duka karena gagal meraih kebahagiaan. Sungguh, saya berharap pembaca tidak termasuk dalam tipe ini.

Benar!Rona wajah yang kusut dan tanpa sinar kebahagiaan tak dapat disepuh dengan make up, tidak pula dapat dipoles lewat kursus penampilan. Meski, wajah tersebut dapat dibuat indah menawan di mata umumnya manusia, namun tak dapat mengelabuhi hamba Allah yang memiliki bashirah, mata hati.

Mata hati dapat dengan mudah mengenali makhluk Allah yang berusaha menyembunyikan kegagalan hidup dibalik penampilanglamour. Dapat pula membedakan antara wajah asli dan wajah yang terbungkus dengan masker kepalsuan. Sehingga terlihat berbeda antara orang yang kantung matanya menggantung karena shalat malam dan munajat dengan begadang setiap malam memikirkan rencana melanggengkan kekuasaan.

Akar Kebahagiaan
Kebanyakan manusia salah persepsi apa sesungguhnyasumber kebahagiaan hidup. Padahal kekeliruan dalam permasalahan ini akibatnya fatal. Contoh di atas, merupakan sebagian dari akibat salah persepsi terhadap sesuatu yang disangka akan mendatangkan kebahagiaan, ketika sesuatu tadi dapat diraih, ternyata kebahagiaan yang diimpikan tidak juga tergapai. Bak mengejar fatamorgana, ketika sampai di tempat yang dikejar, bayangan keindahan itu selalu ada di depannya.

Sesungguhnya sumber kebahagiaan sejati ada pada ma’rifah kepada Allah dan mencintai-Nya sepenuh cinta tanpa menyekutukannya, berharap kepada-Nya dan menunggalkan-Nya dalam harap, takut kepada kemurkaan dan adzab-Nya melebihi takut kepada makhluk-Nya.

Ketika Keagungan Allah Bertahta diKalbu
Kalbu yang telah bertahta padanya Kebesaran dan Keagungan Allah akan menyembul daripadanya beragam ‘amalan hati; yang paling utama adalah mencintai Allah. Cinta ini mengalahkan semua tuntutan dan pengorbanan yang menghalanginya dari meraih cinta-Nya dan bersedia membayar apapun dan berapapun.Ma’rifah dan cinta itu pula yang menjadikan lisan dan qalbu seorang mukmin merasakan tenang kalamenyebut dan mengingat-Nya, serta rindu berkhalwat dengan-Nya dalam khusuknya ibadah. Salah seorang salafmenggambarkan kebahagiaan itu dengan ungkapan, “Tidak ada yang lebih membuatku gelisah dalam 40 tahun ini melebihi (berakhirma malam dan) tibanya fajar”.

Banyak orang menyangka bahwa sumber kebahagiaan ada pada melimpahnya harta. Atau tingginya pangkat dan kedudukan. Ketika semua yang disangka sebagai sumber kebahagiaan tadi telah diraih, ternyata kegelisahan hati dan dahaga kebahagiaan tak juga terobati apalagi terpuaskan. Tak hanya itu, apa yang telah diraihnya bahkan menjadi beban yang semakin menggelisahkan.

Mungkin masih tersisa kebaikan pada orang tersebut, karena masih bisa merasakan kekeringan hati dan kegagalan meraih kebahagiaan. Sehingga masih terbuka pintu kesadaran yang menjadikannya berpeluang untuk menemukan sa’adah atau kebahagiaan sejati jika dia bersungguh-sungguh dan rahmat Allah berpihak kepadanya. Ada yang lebih buruk; hamba Allah yang gagal meraih kebahagiaan, hidup dalam kegersangan hati meski bergelimang dalam kubangan materi, tetapi tidak tahu bahwa dirinya gagal meraih kebahagiaan. Selubung ron(noda) yang menyelimuti hatinya telah demikian tebal, Iblis dan kabilahnya juga telah berhasil menghiasi kegagalannya dengan kesombongan jahiliyah sehingga semua keterpurukannya nampak sebagai keberhasilan,hingga maut menjemput.

Wujud Kasih Sayang-Nya
Allah SWT lebih sayang kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu kepada anak. Tanda kasih sayang itu bukan dengan memanjakan manusia dengan kenikmatan hidup. Melainkan dengan memberikan paduan berupa kitab suci sebagai kabar gembira, peringatan dan pedoman hidup bagi manusia. Barang siapa berpegang teguh kepada kitab suci tersebut, dijamin baginya kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Allah membandingkan manifestasi kasih sayang-Nya tersebut dengan apa yang disangka kebanyakan manusia sebagai sumber kebahagiaan.Firman-Nya :

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 48)

Imam Jalaluddien Al-Mahalli dan Imam Jalaluddien As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘karunia Allah’ dalam ayat ini adalah ‘Islam’ sedang ‘rahmat-Nya’ adalah ‘Al-Quran’. Adapun ‘apa yang mereka kumpulkan’ adalah ‘materidunia’.

Namun sayang, manusia tak menyadari kasih sayang itu. Bukannya mendekat, tapi malah lari menjauh dari Adz-Dzikr (Al-Quran). Sehingga mereka tak akan pernah mendapatkan kecintaan dari Allah. Ada sekat penghalang dalam hati mereka, sehingga gagal meraih cinta-Nya. Sekat itu berwujud materi duniawi yang mereka kumpulkan dengan sangkaan akan membawa kebahagiaan. Kegandrungan kepada dunia itu akan menyirami hawa nafsunya bakbensin menyiram api

Berpaling dari peringatan Allah, mencampakkan pedoman hidup dan enggan menempuh jembatan membentang untuk meraih kasih sayang-Nya berarti ‘membuta’ secara maknawi. Hamba yang berbuat seperti itu pasti akan mendapatkan cicipan adzab di dunia dengan kesempitan hati dan kegundahan. Di alam kubur cicipan adzab itu lebih nyata dan terasa, kuburpun akan menyempit sehingga tulang rusuknyasaling masuk bersilangan , sedang siksa di akherat yang lebih dahsyat telah menanti.

Tak hanya itu. Kebutaan maknawi mereka di dunia berlanjut hingga di akherat. Kelak mereka benar-benar buta dalam arti tak bisa melihat dengan mata. Mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta, sebagai hukuman nyata atas sikapnya. Tatkala mereka memprotes kebutaan itu, Allah bantah dengan sikap mereka yang membutakan mata hatinya terhadap ayat-ayat-Nya ketika di dunia. Allah pun melupakan mereka sebagai balasan atas sikap mereka melupakan peringatan Allah dan pedoman-Nya.

Naudzubillah min dzalik.

ar-risalah

~**~ Hati , Kekuatan Inti ~**~






Kekuatan adalah kemampuan untuk menggapai sesuatu yang dituju, menepis segala hal yang membahayakan, juga mengalahkan musuh yang menghalangi tujuan. Kekuatan tidak identik dengan tubuh yang tinggi besar, gagah atau berotot. Meski pada kasus tertentu, kondisi itu semakin menambah kesempurnaan kekuatan seseorang. Namun inti kekuatan seorang mukmin ada di hatinya. Selain berupa
iradah (kemauan) untuk berusaha, juga kesempurnaan tawakalnya kepada Allah.

Pasrah adalah Kekuatan, bukan Kelemahan

Secara bahasa, tawakal berarti bersandar dan pasrah. Secara istilah, tawakal bermakna keseriusan hati dalam bersandar kepada Allah Azza wa Jalla, baik dalam mendatangkan kemaslahatan maupun menolak kemadharatan, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Demikian definisi tawakal menurut Ibnu Rajab al-Hanbali.

Kepasrahan seseorang kepada Allah bukanlah indikasi kelemahan, atau wujud keputusasaan. Tidak pula bertentangan dengan sifat optimis atau percaya diri. Bahkan di sinilah letak kekuatan dan kunci percaya diri. Ketika seseorang ingin meraih tujuan yang agung, atau cita-cita yang besar, dia tidak terbebani oleh minimnya pengetahuan, atau kecilnya kekuatan dibanding dengan besarnya harapan. Karena ada Allah yang diharapkan. Yang bisa berkehendak apa saja, berkuasa atas segala gala, dan tak ada yang mustahil bagi-Nya, jika Dia menghendaki. Maka orang yang paling besar tawakalnya kepada Allah adalah orang yang paling optimis dalam menggapai harapan dan paling kuat untuk berjuang meraih tujuan.

Karena itulah, Allah menyertakan hasungan tawakal bagi yang ingin meraih segala tujuan yang besar nan mulia, dalam urusan duniawi apalagi ukhrawi.

Tawakal dalam Hal Ukhrawi

Dalam hal merealisasikan ibadah, Allah perintahkan,

maka sembahlah Dia (beribadahlah kepada-Nya), dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 11:123)

Setelah perintah beribadah kepada-Nya, Allah menghasung kita untuk bertawakal. Karena ibadah adalah tugas yang paling agung. Butuh kekuatan besar untuk mampu menjalani segala sisinya. Banyak aral yang harus diterjang, banyak gangguan yang harus disingkirkan, dan butuh kekuatan super untuk mampu bertahan dalam bingkai yang telah digariskan. Karenanya, tawakal mutlak diperlukan untuk membekali diri dalam beribadah.

Di medan dakwah, tawakal adalah sumber energi yang dengannya para da’i tegar atas segala kemungkinan yang terjadi. Apakah berupa penolakan, permusuhan maupun jebakan yang menggelincirkan. Dengan tawakalnya hati kepada Allah pula, kekuatan lisan juru dakwah mampu menembus hati obyek yang dituju. Seperti yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “innama minal qalbi yasiiru ilal qalbi”, yang bersumber dari hati akan bermuara di hati pula. Retorika, penguasaan tema, maupun keahlian memilih kata, meski diperlukan dan harus diupayakan, seringkali efeknya tak begitu membekas di hati pendengar. Kecuali jika dilandasi kuatnya pengharapan dan kepasrahannya kepada Allah, agar berkenan menyinarkan hidayah kepada mereka. Allah memerintahkan Nabi saw sekaligus juga para da’i yang mengikuti jejaknya agar menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah,

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :”Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah yang haq selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. 9:129)

Medan jihad, lebih nyata lagi kebutuhannya akan tawakal. Membekali hati dengan tawakal saat berperang tidak kalah pentingya dari mempersenjatai diri dengan perlengkapan perang yang mematikan. Jika dua kubu berhadapan, maka yang berbicara bukan semata cacahnya pasukan, perimbangan persenjataan, atau kepiawaian dalam mengatur siasat perang. Namun kekuatan hati, kokohnya keyakinan, ketegaran menghadapi serangan lawan dan kuatnya pengharapan kepada Allah adalah senjata yang layak andalkan. Allah berfirman,

“Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imran 122)

Wajar, jika Qutaibah bin Muslim, seorang Panglima Perang Islam pernah menyifati Muhammad bin Waasi’ dengan kalimatnya, “Sungguh, doa Muhammad bin Waasi’ lebih aku sukai dari seribu bilah pedang yang dipanggul oleh seribu jawara pilihan.” Pernyataan ini keluar seiring dengan bukti-bukti yang pernah beliau saksikan setiap kali berjihad bersama Muhammad bin Waasi’ rahimahullah.

Tawakal untuk Kemaslahatan Duniawi

Sebagaimana kemaslahatan akhirat, untuk memperoleh kemanfaatan duniawi, tawakal juga mutlak diperlukan. Karena kebutuhan itu pasti, sedangkan Allah semata yang kuasa untuk mencukupi. Firman Allah,

”Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”(QS ath-Thalaq 3)

Nabi juga memberikan garansi dan jaminan,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rejeki sebagaimana burung diberi rejeki, di pagi hari ia keluar dalam keadaan lapar dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR Tirmidzi, hasan shahih)

Yang perlu digarisbawahi, bahwa tawakal tidak menghilangkan unsur ikhtiar sama sekali. Bahkan ikhtiar adalah satu unsur atau fase dari tawakal itu sendiri. Bukankah Allah dan Rasul-Nya juga telah membimbing usaha fisik yang menjadi sebab kuatnya ibadah? Bukankah syariat juga mengajarkan cara bijak dan retorika yang baik dalam berdakwah? Bukankah hukumnya wajib untuk i’dad, menyiapkan kekuatan fisik bagi orang-orang yang hendak berjihad fi sabilillah? Begitupun dengan burung yang lapar di pagi hari, bukankah ia keluar untuk mencari makan dengan tetap membawa tawakalnya kepada Allah?

Karena itulah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan tambahan definisi tawakal dari yang disampaikan oleh Ibnu Rajab, “…dan dengan disertai menjalankan sebab yang telah Allah perintahkan.”

Maka jangan takut bercita-cita, jangan merasa lemah untuk berusaha, dan pasrahkan hasilnya kepada Allah semata.

Wallahu a’lam.

(Abu Umar Abdillah) ar-risalah

~**~ Ketika Pinjaman Diambil yang Punya ( ILAHI RABBI ) ~**~






Al-Qasim bin Muhammad berkata,"Ketika istriku meninggal dunia,Muhammad bin Ka'ab al-Qarazhi mendatangiku untuk bertakziah atas kematiannya. Beliau bercerita,

"Pada zaman Bani Israil, ada seorang yang faqih,alim,ahli ibdah dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia cintai. Ketika istrinya meninggal,dia sangat terpukul. Dia mengunci diri di dalam rumahnya, dan tidak ada seorangpun yang berani menemuinya.

Berita itu diketahui oleh seorang wanita dari kalangan Bani Israil. Wanita itu mendatangi rumahnya seraya berkata,"Aku punya keperluan untuk meminta fatwa kepadanya berkenaan tentang istrinya.Jika dia mengijinkanku,aku akan berbicara langsung kepada beliau. Penjaga pintu memberitahukan kepada orang alim itu. Ia pun mengijinkannya.

Wanita itu berkata,"Aku ingin meminta fatwa kepada Anda tentang satu perkara." Dia bertanya, "Tentang masalah apa?" Wanita itu berkata,"Aku telah memnijam perhiasan milik tetanggaku,lalu kau memakainya dalam waktu yang cukup lama.Kemudian tetanggaku mengirim utusan kepadaku untuk meminta kembali perhiasan itu,apakah aku harus mengembalikannya?" Dia menjawab,"Ya,tentu saja." Wanita itu berkata,"Tapi,sudah cukup lama aku memakai perhiasan itu?" Dia menjawab,"(meskipun begitu) Tetanggamu lebih berhak atas perhiasan yang kamu pinjam itu."

Mendengar jawaban tersebut,Wanita itu berkata,"Semoga Allah merahmati Anda,apakah Anda bersedih hati atas apa yang dipinjamkan Allah kepada Anda,kemudian Dia mengambilnya kembali dari Anda,padahal Dia lebih berhak daripada Anda." Maka diapun tersadar dan dapat mengambil manfaat dari ucapan wanita itu."
---
"Semua yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah,kita harus ikhlas apabila mengambil apa yang dititipkan kepada kita kapan saja waktunya."

ar-risalah

Senin, 05 Desember 2011

~**~ Ciri-ciri Pemilik Husnuzhan Billah ~**~









Sulit mendefinisikan
husnuzhan billahsecara pasti. Beberapa ulama hanya menyebutkan maksudnya secara parsial. Ibnul Qayim menyebutkan, “husnuzhan billahhuwa husnul ‘amal”, prasangka baik kepada Allah adalah amal yang baik.” Yang lain menyebutkan, al fa’lu atau optimisme adalah bagian dari husnuzhan billah. Secara umum husnuzhan billahadalah berprasangka dan berharap kebaikan dari Allah berupa; pertolongan, ampunan dengan keyakinan yang utuh.

Ada kemiripan antara husnuzhan billah(berprasangka baik pada Allah)dengan tawakal(bergantung kepada Allah), ats tsiqah billah (yakin kepada Allah) dan raja’(harapan), meski pada hakikatnya berbeda.Untuk membedakannya, barangkali kita bisa menggunakan beberapa contoh.

Seseorang yang diuji dengan penyakit, dan tetap ridha serta berharap kebaikan kepada Allah, perasaan itu adalah misal darihusnuzhan billah. Adapun yang telah mengikat kendaraanya lalu berserah diri kepada Allah mengenai apa yang bakal terjadi pada kendaraannya, itulah salah satu contoh tawakal. Sedang yang berhijrah dari tempat tinggalnya yang penuh kemaksiatan meski disana hidupnya sukses,dia yakinAllah pasti akan memberi ganti yang lebih baik, itulah contohats tsiqah billah. Yang terakhir arraja’atau harapan, bukan lain adalah bersit harapan dalam hati dalam makna umum,yang jugaterdapat pada ketiga hal di atas. Wallahua’lam.

Namun begitu, ketiga hal di atasmemiliki keterkaitan satu sama lain, bahkan sangat erat. Imam Ibnul Qayim al Jauziyah menjelaskan, husnuzhan billahdan ats tsiqatu billah sebenarnya adalah unsur yang juga menyusun tawakal. Ketawakalan seseorang tidak akan sempurna jika tidak memiliki prasangka yang baik dan keyakinan hati pada Allah. Khusus untuk husnuzhan billah, beliau bahkan menyebutkan, sejauh mana rasa husnuzhanmu kepada Allah, sejauh itu pula rasa tawakalmu kepada-Nya. (Terjemah Madarijus Salikin,194).

Ciri husnudzan billah

Mengingat husnuzhan billah memiliki peran penting dalam amal dan harapan seseorang, perlu kiranya kita mengetahui apa ciri-ciri hati yang memiliki prasangka baik kepada Allah. Dzun Nuun al Mishri mengatakan, ciri husnuzhan billah itu ada tiga; quwatul qalbi, fushatur raja ‘indaz zillah dan nafyul iyas ma’a husnul inabah.(Hilyatul Auliya’;:4/216)

Pertama, quwatul qalbi, kekuatan hati berupa keteguhan dan kemantapan dalam berharap kepada Allah. Orang yang berprasangka baik kepada Allah memiliki kemantapan hati karena ia memahami, disamping dahsyatnya siksa yang dijanjikan-Nya, rahmat Allah sangatlah luas. Dan sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya kasih sayang-Ku selalu mendahului murka-ku.” (Hr. Bukhari). Dengan ini hatinya tidak akan pernah ragu dalam usaha menggapai keluasan rahmat dan karunia Allah.

Kedua, fushatur raja ‘indaz zillah atau luasnya harapan ketika yang dituju tak dapat diraih. Harapan yang dimilikinya seluas samudra. Sebersit sinar panas dari rasa kecewa akibat satu harapan yang tak tercapai, tidak akan bisa membuatnya kering. Ombak harapan pun tetap bergelombang, senantiasa hidup dan wujud dalam hatinya.

Manakala hasil akhir yang ditemui tak seperti yang diharapkan berikut usaha yang telah dikeluarkan, prasangka baik kepada Allah akan tetap membasahi hatinya dengan asa. Pasti Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha dan harapan seorang hamba. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّاللَّهَحَيِىٌّكَرِيمٌيَسْتَحِىإِذَارَفَعَالرَّجُلُإِلَيْهِيَدَيْهِأَنْيَرُدَّهُمَاصِفْرًاخَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Mahamurah, Allah malu jika ada seorang hamba yang mengangkat tangan memohon pada-Nya, lalu tangan itu kembali tanpa membawa apa-apa.” (Hr. at Tirmidzi)

Ketiga,nafyul iyash ma’a husnil inabah. Nihilnya rasa putus asa diiringi kepasrahan dengan mengembalikan semuanya kepada Allah. Husnuzhan billahakan mengikis habis rasa kecewa dan putus asa, apalagi amarah dan buruk sangka terhadapkeputusan Allah. Tak hanya itu, ia pun menenangkan hati dengan menuntunnya menuju kepasrahan atas kehendak Yang Maha Sempurna. Lebih dari itu, sudut hatinya akan mencoba mengail pelajaran, “Lain kali,usaha harus lebih baik lagi” atau “Barangkali Allah menghendaki yang hasil lain yang lebih baik.”

Satu ciri penting yang lain

Selain tiga ciri di atas, Ibnul Qayim menambahkan satu hal yaitu husnul amal, usaha yang baik. Artinya prasangka kepada Allah juga harus diiringi dengan usaha yang baik pula. Bahkan beliau mengatakan, “husnuzhan billah huwa husnul ‘amal”, prasangka yang baik bukan lain adalah usaha yang baik itu sendiri. Manakala seseorang mengharap ampunan dan rahmat-Nya, dia juga harus berusaha melakukan berbagai hal yang balasannya adalah ampunan dan rahmat dari Allah.

Berharap ampunan dan kasih sayang Allah, tapi asyik memancing memancing murka-Nya dengan mempermainkan syariat dan bermaksiat bukanlah husnuzhan billah, tapi maghrurun birahmatillah, terpedaya pada rahmat Allah. Terpedaya dalam arti lupa bahwa disamping rahmatnya, ada juga siksa yang maha dahsyat bagi sesiapa yang menerjang larangan-Nya. Jadi, husnul amal adalah unsur yang tak boleh dilupakan dalam husnuzhan billah, karena inilah yang akan membedakannya dengan keterpedayan pada ampunan Allah.

Pada akhirnya, seseorang yang benar-benar berprasangka baik kepada Allah adalah orang yang memiliki keyakinan dalam harapan, keluasan hati atas segala keputusan, mampu menetralisir pahitnya kekecewaan dengan kepasrahan dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai harapan dengan cara yang benar.

Semoga Allah menjadikan hati kita senantiasa dapat berprasangka baik atas semua ketetapan yang allah berikan kepada kita. Amin.

wallahua'lam

(Taufik A) ar-risalah



~**~ Balasan untuk Sebuah Pengorbanan ~**~






“Man taraka syaian lillah, ‘awwadhahullah khairan minhu”
Sesiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Kalimat ini sangat masyhur dikalangan para ulama serta para penulis. Meski secara lafadz berasal dari hadits dhaif, tapi dari segi isi dinilai shahih karena memiliki syawahid (pendukung) dari hadits-hadits shahih. Diantaranya adalah hadits:

”Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” (HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)

Para ulama menjadikan kalimat diatas sebagai kaidah kehidupan. Tuntunan hidup agar manusia lebih bersemangat dan tidak perlu khawatir untuk meninggalkan sesuatu yang mubah apalagi yang haram demi mendapat ridha dari Allah. Sebab, Allah pasti akan memberikan ganti yang lebih baik.

Perlu kita dalami, apa maksud dari ”sesuatu” dan apa pula ganti yang baik tersebut. Doktor amin bin Abdullah asy Syaqawi menjelaskan dalam salah satu makalahnya, maksud dari meninggalkan ”sesuatu”, artinya bisa sesuatu yang mubah atau lebih dari itu yang haram. Yang mubah misalnya berbagai kemewahan dunia, seperti yang dilakukan oleh salah seorang ahli ibadah di Kufah. Suatu ketika Fudhail bin Iyadh dan Ibnul Mubarak menengok sang ahli ibadah yang telah lama menyapih dirinya dari kemewahan dunia ini, tentunya bukan karena aslinya miskin. Ibnul Mubarak mengatakan, ”Wahai saudaraku, kami mendengar bahwa tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu karena mencari ridha Allah, melainkan Allah akan memberinya ganti dengan yang lebih baik, lalu apa ganti dari Allah untukmu?” ia menjawab, ”Keridhaanku pada kondisiku sekarang.” Ibnul Mubarak berkata, ”Itu cukup bagimu.” (Shifatushafwah, 3/185).

Adapun meninggalkan yang haram, ada banyak contoh dalam hal ini. Yang dimaksud adalah meninggalkan yang haram dikala memiliki kesempatan melakukannya. Contoh paling masyhur adalah kisah nabi Yusuf yang meninggalkan ajakan isteri raja untuk berzina lalu memilih masuk penjara. Kemudian Allah memberikan ganti berupa kekuasaan yang luas dan keamanaan dari fitnah. Ada juga beberapa kisah lain yang mirip dari segi plot cerita. Intinya menolak zina lalu dikarunia Allah sesuatu yang jauh lebih baik.

Seperti kisah seorang pedagang yang pada zaman perang salib, yang disebutkan dalam kitab Mausu’ah al Khitab wa Durus, Syaikh Ali bin Nayif asy Syahud. Pedagang ini tinggal di suatu negeri di Eropa dimana antara pasukan Islam dengan tentara salib setempat terjadi perjanjian damai. Suatu ketika ia kedatangan pengunjung seorang wanita eropa yang sangat cantik. Kecantikannya membius dirinya dan membuatnya memberi diskon besar untuk si wanita. Wanita itupun keranjingan beli di tokonya. Karena tak tahan, akhirnya pemilik toko menyampaikan maksud hatinya untuk bisa bersua dengan si wanita pada pembantunya. Pembantunya mengatakan, ia harus menyerahkan uang 50 dinar. Malam harinya keduanya bertemu, tapi pada saat itu, si pedagang ingat kepada Allah dan urung melakukan apa yang memang seharusnya tidak ia lakukan. Si wanita pun marah dan pergi.

Beberapa hari kemudian, si wanita datang lagi, rasa sesal menyeruak di hati pedagang, mengapa kemarin ia sia-siakan pertemuannya? Ia pun menyampaikan keinginannya pada pembantu, setelah menyerahkan uang yang lebih banyak dari kemarin, kejadian seperti kemarin terulang kembali. Dan saat bertemu dengan sang wanita, si pedagang kembali menyesal. Demikian hingga beberapa kali.

Kali yang terakhir, si wanita meminta uang yang hanya bisa dipenuhi jika si pedagang menjual tokonya. Benar, toko pun dijual. Tapi belum sempat keduanya bertemu, pasukan islam mengumumkan perjanjian damai berakhir. Semua orang muslim harus hijrah ke negeri lain. Si pedagang pun pindah dengan membawa kerugian. Di tempat hijrahnya ia kembali berdagang dan melupakan masa lalunya.

Suatu ketika, pasukan Islam dikabarkan telah merebut kota yang dulu ditempati pedagang. Saat rombongan pasukan lewat, pemimpin pasukan melihat budak milik si pedagang dan ingin membelinya. Hanya saja, pada saat itu si panglima hanya memiliki uang cash 90 dinar, padahal harga budak itu 100 dinar. Sang panglima mengatakan, kekurangannya si pedagang boleh mengambil budak hasil tawanan perang. Si pedagang pun masuk ke sebuah tenda tempat pasukan mengumpulkan budak. Tak dinyana, ternyata si wanita Eropa itu ada didalamnya. Pedagang itu mengatakan, ”Kini, untuk mendapatkanmu aku hanya perlu membayar 10 dinar.” Lalu wanita itupun dinikahi.

Adapun ganti yang lebih baik, bisa berupa sesautu yang persis seperti apa yang ditinggalkan, atau yang lebih baik lagi. Dapat pula berupa sesuatu yang bersifat maknawi dan bukan materi, di dunia dan akhirat. Ibnul Qayim menjelaskan dalam kitab al Fawaid, ganti itu bisa berbagai macam, tapi yang paling istimewa adalah kecintaan kepada Allah, ketenangan hati, kekuatan jiwa, semangat, rasa gembira dan keridhoan pada Allah Ta’ala.(Juz I/107).

Seperti orang yang meninggalkan kemaksiatan berupa memandang yang haram, Allah akan menggantinya dengan balasan yang sangat luar biasa berupa pandangan hati (bashirah) dan firasat yang terang benderang. Di dalam kitab al Jawabul Kaafi, Ibnul Qayim menjelaskan, orang yang menjaga pandangannya dari yang haram, Allah akan membukakan baginya mata hatinya, pintu ilmu dan juga firasat yang tepat. (I/126)

Atau seperti ganti bagi yang meninggalkan debat kusir. Kelak di jannah ia akan diberi rumah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

”Barangsiapa yang meninggalkan debat kusir sedang dia salah, akan dibangun untuknya rumah di teras jannah, dan barangsiapa meninggalkannya meski dia benar, akan dibangunkan rumah di tengah jannah.(HR. At Tirmidzi, Imam Albani menilai ”hasan”,Shahih Targhib wa Tarhib I/32).

Selanjutnya, syarat untuk mendapatkan semua itu adalah ”lillah”, yaitu demi mendapatkan ridha Allah. Tanpanya, ganti yang lebih baik tidak akan pernah bisa didapatkan.

Begitulah, kaidah di atas telah dibuktikan oleh orang sebelum kita. Memang, yang haram itu enak kelihatannya dan nikmat saat dirasa. Tapi akibat buruknya tidak akan sebanding dari secuil kenikmatannya. Sedang meninggalkannya sangatlah berat dan pahit, tapi gantinya akan mampu membuat kita lupa terhadap kenikmatan yang ditawarkan. Ya, Allah mudahkanlah hati kami untuk meninggalkan apa yang engkau larang, berilah kekuatan hati dan berilah kami ganti yang lebih baik. Amin.

Wallahua’lam.

(anwar) ar-risalah