Minggu, 31 Juli 2011

~**~ Suamiku, Aku Mencintaimu ~**~


Suamiku...

Masih ingatkah kau, saat pertama kali mas kita terikat halal oleh kecintaan karena Allah subhanahu wata'ala?. Kita melihat satu dengan yang lain begitu sempurna, menyenangkan dan membahagiakan. Rasanya begitu abadi kebahagiaan yang kita cita- citakan. Hari- hari selanjutnya adalah perjalanan pergatian suka dan duka, dan kebahagiaan atau konflik senantiasa melingkupi hubungan hati.

Suamiku...

Saat suatu hari kau menemukan sikapku merepotkan dan mengusik batinmu...

Mohon sedikit luaskan hatimu. Jangan kau kesal menanggapi kalimat dan tangisan manja dari wanitamu ini. Bukan bermaksud menyulitkan, namun sekedar mencari cara lain mendapatkan perhatian, karena kosongnya satu sisi hati yang butuh untuk lebih dimanjakan oleh seorang lelaki yang begitu dikaguminya.

Mengapa Allah menjadikan kau suami, dan bukan sebaliknya? Kau telah ditakdirkan Allah menjadi suamiku, yang berarti akan lebih pandai dalam mengayomiku. Yakinlah itu suamiku, dan jangan balas semua dengan keseriusan seorang laki- laki, namun pahamilah kerapuhan dan kebodohanku sebagai wanita.

Hanyalah kelembutan, kasih sayang, serta nasehat penuh kesabaran namun tegas, yang dapat dengan mudah meluruskan tindakan aneh istrimu walau semua awalnya aku niati dengan niat baik. Jangan buat aku semakin bebal dan tidak mengerti dengan berbalik memberikan sejuta amarah apalagi pukulan, karena semua adalah karena ketidaktahuan. Janganlah pula mempersempit hatimu dengan tangisan karena itu akan menyedihkan untukku wahai suamiku. Pahamilah karena semata- mata semua karena kenakalan dan kemanjaanku, maka dari itu mohon maafkanlah aku.

Suamiku...

Saat suatu hari kau menemukan kata- kataku merepotkan dan mengusik telingamu...

Pernahkah kau melihat seorang wanita yang bisa mengeluarkan uneg- unegnya dengan merdeka raya, sedang sang suami tetap melihat dengan senyum, perhatian dan pandangan yang hangat. Hal itu sebenarnnya sudah sangat menjelaskan kepada sang istri sendiri bahwa dia adalah sangat cerewet dan tindakannya tidaklah baik. Namun, hal itu juga membahagiakan para istri karena secara sadar dia bersyukur bahwa ada seorang manusia yang ternyata begitu sangat mencintai dan memahaminya...

Suamiku....

Ampuni istrimu atas kekurangan yang dikaruniakan Allah kepadaku. Mohon jangan tutup pintu hatimu dengan ketidak ridhoan mu atasku. Jangan buat para bidadari di surga menggantikan posisiku dan memilikimu kelak. Sungguh hal itu akan menyedihkan bagiku.

Suamiku...

Kau gagah, ketika kau bisa meletakkan kelembutan dan senyum saat mendidik istrimu. Kau tegas, saat mengatakan kalimat dengan pas namun santun untuk memotong kebandelan wanitamu. Kau berwibawa, saat nada bicaramu menggambarkan ketulusan dan kemurnian niatmu dalam menasehati. Sama sekali bukan bentakan dan atau nada tinggi. Kau kuat, saat menerima dengan ikhlas tentang kelemahan istrimu. Kau baik, saat dengan kelapangan hatimu memaklumi keburukan pasanganmu.

Keluasan hatimu memaafkan, bagiku adalah pelajaran dari seorang guru untuk memaafkan. Keluasan hatimu untuk memaklumi dan bersabar, adalah pengajaran bagiku untuk memaklumi dan bersabar. ketelatenanmu untuk memahami adalah pelajaran berharga bagiku untuk memahami.

Suamiku, kaulah idolaku...

Suamiku, kau lah idolaku, yang halal bagiku. Dan aku ingin selalu mengagumimu. Hanya kau. Maka mohon dengan sangat, didiklah dirimu agar indah untukku dan dihadapanku, dan didiklah aku agar aku mengerti tentang keindahan itu. Supaya aku belajar tentangnya dan tentang kebaikan.Supaya aku dapat dengan tulus berterimakasih kepada Allah atas karunia manusia sepertimu, supaya aku dapat meneduhkan diri dan mencukupkan jiwa denganmu, supaya aku dapat dengan batin yang tulus berkata, "Suamiku, Aku mencintaimu.."

(Syahidah/voa-islam.com)

Jumat, 29 Juli 2011

~**~ Ketenangan Adakah Dijual Di Sini ~**~



Pernah tak nampak signboard macam ni, "Ketenangan ada dijual disini, dapatkan segera!"
atau iklan macam ni, "Ketenangan untuk dijual" atau bila buat pencarian di mudah.com, jumpa "Untuk dijual: Ketenangan". Pernah tak kita jumpa? Erm ... saya yakin, belum pernah ada ketenangan terjual di mana-mana.

Penting ke ketenangan ni?

Pernah sesekali atau kerapkali mungkin, dalam hidup ini kita diuji dengan dugaan yang kita rasakan sangat berat, sampai kita jatuh terduduk, tergamam, terpana. Terasa jiwayang tenang mulai berombak, pikiran yang lapang terasa sesak. Dunia yang semalamnya cerah, hari ini terasa gelap gulita, tidak cahaya, tidak apa-apa. Kita teraba-raba, mencari tangan-tangan untuk berpaut, menemukan bahu-bahu untuk bersandar, menemukan dinginnya embun nasehat buat mendinginkan hati, saljunya madah kata pemujuk jiwa yang bisa mengembalikan kelamnya hidup kita. Kita tercari-cari mana pasangan, anak-anak, sahabat-sahabat kita. Apakah ketenangan ada bersama mereka?

Namun, kita rasa hampa karena tidak ada tangan yang datang menyumbang, tidak bahu yang datang mendekat, tidak curahan kata, tidak madah pujangga, tidak apa-apa. Sedang hati kita semakin terjerut kehibaan, mengenang dugaan yang semakin memberat, sedang jalan keluar seakan tidak terlihat, kita seolah tersesat di hutan belantara, di malam kelam yang tidak semuanya, tidak juga bulan indikator haluan.

Mungkin juga sesekali, seolah terdengar sayup-sayup bantuan yang datang, ada insan-insan yang mencoba mengulurkan pertolongan. Namun, suami, istri, anak-anak, sahabat, saudara, juga tidak dapat meminjamkan ketenangan itu kepada kita. Entah mengapa, semuanya bagai tak kena. Masalah yang menimpa tidak juga menampakkan solusinya, sedang insan di sekeliling kita tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu kita. Kita keseorangan, sendirian, dalam kegelapan, kebuntuan ...

Sungguh, kita terasa ingin lari jauh. Jauh kemana-mana saja, asalkan kita terlepas dari belenggu yang menyesakkan pikiran ini. Kita mau mencari sesuatu ... "Ya Allah, berikan aku ketenangan". Ya, tidak apa yang lebih kita inginkan, tidak lain yang kita perlukan saat ini, melainkan ketenangan. Kita ingin Allah pinjamkan kita ketenangan, biarpun sebentar, biarpun hanya sedetik cuma.

Kita mencoba membujuk hati yang walang, mencoba mencari ketenangan yang diimpikan. Pergi liburan untuk menenangkan pikiran, window shopping, keluar berhibur dengan teman. Bermacam-macam cara kita mencoba, namun gundah jiwa kita masih tidak berkurang, dugaan yang menimpa tidak juga surut, malah makin menyesakkan pikiran.

Kita menemukan-cari dimana kita bisa mendapatkan ketenangan itu. Andai ia terjual di mana-mana, ya! dalam saat ini kita rela berikan segalanya untuk sebuah ketenangan. Andai apa syaratnya, kita pasti mau memenuhinya, asal saja kita mendapat ketenangan itu. Andai ada manusia yang menyimpan ketenangan itu, akan kita cari dia walau di puncak mana dia berada. Semuanya demi ketenangan, kita umpama wisatawan yang kehabisan bekal air, di padang pasir yang panas terik. Walau segunung permata yang kita miliki pada saat itu, tidak berguna, karena yang kita butuhkan adalah air. Dan jika ada yang mau mengubah segelas air dengan permata yang kita miliki, maka kita sanggup?

Sungguh, ketenangan ini adalah satu penghargaan yang sangat istimewa. Karena ia tidak dimiliki oleh siapa, melainkan Allah SWT Manusia tidak dapat memberikan ketenangan, harta bertimbun bukan Persyaratan memiliki ketenangan, paras bukan juga pertukaran ketenangan, keluarga dan sahabat bukan jaminan, karena di sinilah letak Keadilan dan Keagungan Allah SWT

Andai saja ketenangan itu mampu dibeli oleh si kaya, maka bagaimana dengan mereka yang miskin? Kalau ketenangan itu syaratnya kecantikan rupa paras, maka bagaimana dengan si jelek? Jika ketenangan itu pada pangkat yang tinggi, bagaimana pula dengan si hamba? Andai ketenangan itu pada kaum kerabat dan keluarga, bagaimana dengan si yatim piatu yang tidak punya siapa? Maha adilnya Allah S.W.T.

Indahnya, Allah menempatkan ketenangan pada hati-hati yang dekat dengan-Nya, firman-Nya:

'Dialah Allah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang yang beriman, supaya keimanan mereka makin bertambah dari keimanan yang telah ada. Kepunyaan Allah pada langit dan bumi, dan Allah itu Maha Tahu dan Bijaksana '[Al Fath: 4]

Ya, pastinya segala sesuatu pada dunia ini ada harganya, begitu juga dengan ketenangan. Harganya bukan penukaran uang maupun harta, namun adalah keimanan kepada pemiliknya ketenangan. Mana mungkin kita mendapat ketenangan, kalau pemiliknya kita dustakan! Lalu bila hatimu dipagut resah, jiwamu hilang arah, hatimu dirundung gundah, maka mendekatlah kamu kembali kepada Allah! Mintalah kepada-Nya. Hanya Dia. Hanya Dia yang mampu menurunkan ketenangan itu ke dalam hatimu. Dialah saja yang berkuasa mendamaikan hatimu, sedamai sungai mengalir tenang, sedingin salju mendinginkan perasaan, sebening awan berarak perlahan. Itulah yang ditunggu-tunggu, untuk pemilik jiwa yang kegundahan.

Lantas, yakinlah kita bahwa tidak seorang, tidak apa-apa yang mampu menghadiahkan ketenangan itu, melainkan Allah SWT Namun apakah kita malu, di saat kita butuhkan sesuatu, kita menemukan-cari Allah, namun saat kita telah memperoleh apa yang kita mau, kita lupa! Kita lupa kepada-Nya. Allahu Rabbi, di manakah tempatnya Allah di hati kita? Mungkinkah ini sebabnya Allah menarik seketika ketenangan dalam jiwa kita, karena kita telah jauh dari-Nya, kita lupa kepada-Nya!

Ayo, sama-sama kita renungi. Andainya ada ketenangan di hati kita saat ini, maka bersyukur dan ingatlah selalu kepada-Nya. Namun jika ketenangan itu diambil seketika oleh-Nya, maka kembalilah segera membawa hati kita kepada-Nya.

Dia sedang menunggumu,
Dia siap menyambutmu,
Tunjukkan pada-Nya hatimu yang terluka,
Adukan pada-Nya betapa kau kecewa,
Kisahkan pada-Nya betapa kau hiba,
Pasti kau takkan kecewa karena Dia sungguh kasih kepadamu,
Meskipun hari-hari yang lalu kau pernah dan seringkali melupakan-Nya.

Namun, hari ini pabila kau datang pada-Nya, Dia akan berlari mendapatkanmu. Namun, ingatlah! Jangan pernah lupa kepada-Nya bila telah Dia berikan ketenangan lalu membebaskanmu dari belenggu kesulitan! Bukankah Dia sebelumnya membujuk kita hamba-Nya dengan firman-Nya:

'(Yaitu) orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram '[Ar-Ra'd: 28]

- Artikel iluvislam.com

Kamis, 28 Juli 2011

**~** Tabarruk **~**



Istilah mencari berkah bagi sebagian masyarakat muslim indonesia adalah istilah yang sangat familiar . Dimana mereka menyikapi tabarruk secara berlebihan .

Diantara bentuk mencari berkah ( tabarruk ) yang tidak di syari'atkan dan biasa di lakukan :

1. Mencari berkah dengan meminta do'a di makam wali2 .

2. Mencari berkah dengan meminum sisa air cucian benda2 keraton .

3. Mencari berkah dengan mengambil tanah di makam2 kyai .

4. Mencari berkah dengan meminta do'a gua2 yang dikeramatkan . dll...


Makna Tabarruk adalah mencari berkah . Sedang berkah adalah " az Ziyaadah " ( kebaikan yang bertambah ) dan ats Tsubuut ( tetap )


Berkah Menurut AL-Qur'an :

Di dalam al-Qur'an , lafadz " Barokah " tercantum sebanyak 27 kali .


Mencari Berkah yang disyari'atkan :


1. Mencari Berkah dengan membaca , memahami dan mengamalkan isi kandungan al-Qur'an .


" Dan Al-Quraan itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat " . ( QS. Al An'am 6:155 )


" Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" . (QS. Shaad 38:29)



2. Mencari Berkah dengan membaca surat al-Baqoroh .


Dari sahabat Abu Umamah al Bahili berkata , dia mendengar Rasulullah berdo'a :

" Bacalah al Baqoroh karena dengan membacanya beroleh berkah dan dengan tidak membacanya beroleh penyesalan .


3. Mencari Berkah dengan mentaati , membenarkan dan mengikuti Rasulullah .


4. Mencari Berkah dengan menjadi teman dan berteman dengan orang2 sholeh , beriman dan bertaqwa kepada Allah .


" Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya " . (QS. al A'raaf 7:96)


5. Mencari Berkah dengan perdi ke Baitullah al Haram ( Ka'bah )


" Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia " . (QS. ali Imron 3:96)


6. Mencari Berkah dengan ziaroh ke Madinah .


Dari sahabat Anas , dari Nabi bersabda :

" Wahai Allah , Turunkanlah berkah berganda di Madinah , sebagaimana yang telah Engkau turunkan di Makkah " . ( shahih Bukhori ) .


Dari sahabat Abu Huroiroh , katanya Nabi berdo'a :

" Wahai Allah , berilah keberkahan kepada kami di dalam buah-buahan kami , berilah keberkahan bagi kami di dalam Madinah kami ... " ( shahih Muslim )


7. Mencari Berkah dengan sholat di " Waadiy al ' Aqiiq " ( lembah al 'aqiiq ) .


Dari sahabat Umar bin Khattab , katanya dia mendengar Nabi waktu beliau berada di wadi al'aqiiq , beliau bersabda : ... Kerjakan sholat di lembah yang di berkahi ini ... ( shahih Bukhori )



8. Mencari Berkah dengan ziaroh ke Masjidil Aqsho .


" Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui " . (QS. al Israa' 17:1)



9. Mencari Berkah dengan mengoptimalkan ibadah di bulan Ramadhan .


Dari sahabat Abu Huroiroh , katanya Nabi berdo'a :

" Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan , bulan yang penuh berkah ... " ( HR. an Nasa'i dan al baihaqi ) .



10. Mencari Berkah dengan mengoptimalkan ibadah pada saat Lailatul Qodr ( 10 hari akhir bulan Ramadhan ) .


" Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan " . (QS. ad Dukhaan 44:3)



11. Mencari Berkah dengan ziaroh ke negeri Syam ( Palestina , Yordania , Syiria , Libanon ) .


" Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman " . (QS. Saba' 34:18)


12. Mencari Berkah ketika turun hujan dengan menyikapinya sesuai sunnah .


" Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, (QS. Qaaf 50:9)


13. Mencari Berkah dengan menjilati makanan yang masih melekat di tangan atau piringnya . ( HR. an Nasa'i )


14. Mencari Berkah dengan memakan makanan yang telah hilang panasnya . ( HR. ad Darimi )


15. Mencari Berkah dengan memakan buah Zaitun . ( shahih Ibnu Majah )


16. Mencari Berkah dengan meminum susu sapi . ( shahih Ibnu Majah )


17. Mencari Berkah dengan melakukan bekam pada hari senin - selasa - kamis . ( shahih Ibnu Majah )


18. Mencari Berkah dengan memegang ubun2 kuda .


Dari sahabat Anas , dari Nabi sabdanya :

" Ubun2 kuda itu mempunyai keberkahan " ( shahih Bukhori )


19. Mencari Berkah dengan memelihara kambing .


Dari Ummu Hani , Nabi bersabda :

" Peliharalah kambing , karena didalamnya terdapat keberkahan " . ( shahih Ibnu Majah )


20. Mencari Berkah dengan memakan kurma .


Dari sahabat Salman bin Amir , dari Nabi sabdanya :

" Jika seseorang dari kalian berbuka puasa , hendaklah ia berbuka dengan kurma , karena kurma mengandung berkah " . ( shahih Tirmidzi )


21. Mencari Berkah dengan meminum air zam-zam .


Dari Abu Dzar berkata , Nabi bersabda :

" Zam-zam memang penuh berkah lebih dari makanan . ( shahih Muslim )


22. Mencari Berkah dengan makan sahur .


Dari Anas bin Malik katanya , Nabi bersabda :

" Bersahurlah kalian , karena sesungguhnya pada makan sahur yerdapat barokah " . ( shahih Muslim )


23. Mencari Berkah dengan senantiasa berjama'ah .


24. Mencari Berkah dengan makan tsarid ( bubur daging ) .


Dari sahabat Salman dia berkata , Rasulullah bersabda :

" Keberkahan itu terdapat dalam 3 hal : berjama'ah , tsarid dan makan sahur " . ( HR. ath Thabrani )


25. Mencari Berkah dengan membiasakan diri bangun pagi .


Dari Shakhr al Ghamidi ash Shahabi dia berkata , Nabi bersabda :

" Ya Allah , berkahilah umatku diwaktu pagi mereka " . ( HR. Ibnu Hibban )


26. Mencari Berkah dengan menghadiri sholat I'ed di tanah lapang . sekalipun haidh . ( shahih Bukhori )


27. Mencari Berkah dengan jujur dalam berjual beli . ( shahih Muslim )


28. Mencari Berkah dengan Menikah dan paling ringan maharnya .


Dari Aisyah RA , bahwasanya Nabi bersabda :

" Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan maharnya " . ( HR. Imam Ahmad )


29. Mencari Berkah dengan makan berjama'ah .


Dari Wahsyi , bahwa Rasulullah bersabda :

" Berkumpullah pada makanan kalian ( untuk makan bersama ) , dan sebutlah nama Allah , niscaya kalian akan diberkahi " . ( shahih Ibnu Majah )

Ust . Dilib

Selasa, 26 Juli 2011

*~~* Kewajiban Menjauhi Thaghut *~~*




“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut.”(QS. An Nahl;36).

Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa para rasul diutus kepada semua umat manusia dan agama yang dibawa para rasul hanya satu. Ayat ini juga menunjukkan keagungan tauhid yang telah diwajibkan terhadap setiap umat. Allah mewajibkan semua hamba agar mengingkari thaghut dan beriman hanya dengan Allah. Karena tidak akan sempurna tauhid seorang hamba kecuali dengan hal itu.

Ibnu Qayyim RHM berkata, “Thaghut adalah perbuatan hamba yang melampui batas, baik berupa sesembahan, yang diikuti atau yang ditaati. Definisi ini adalah perkataan Ibnu Qayyim RHM dalam kitab I’lamul Muwaqi’in: I/50. Beliau mendefinisikan thaghut dengan definisi yang bagus. Kata thaghut adalah pecahan dari kata tughyan yang artinya melampui batas. Setiap sesuatu yang melampui batas yang telah ditetapkan disebut thaghut, di antaranya adalah firman Allah:

إِنَّا لَمَّا طَغَا الْمَآءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ

“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (QS. Al Haqqah; 11).

Dalam bahasa Arab susunan kata thaghut termasuk timbangan kata yang bermakna hiperbolis seperti jabaruut dan malakuut. Adapun definisininya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnul Qayyim RHM (1. perbuatan hamba yang melampui batas). Yaitu seorang hamba yang melewati ketetapan yang seharusnya ia lakukan dalam syariat maka ia dikatakan thaghut. Berupa sesembahan: Melewati batas dengan menyembah seorang insan, barangsiapa ditujukan untuknya salah satu dari jenis ibadah dan ia dia rela diperlakukan seperti itu maka orang tersebut adalah thaghut. Karena ia telah melampaui batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. Dan batasan untuknya di dalam syariat yaitu sebagai penyembah Allah Ta’ala bukan orang yang disembah. Jika ia ridha dengan perlakuan seperti itu, berarti ia adalah seorang yang melampaui batas. (2. atau yang diikuti) termasuk di dalamnya paranormal dan tukang sihir yang perkataan mereka selalu diikuti. Termasuk juga ulama suu’ (jelek) yang mengajak kepada kekafiran, kesesatan, kepada bid’ah atau yang membujuk pemerintah untuk keluar dari syariat Islam dan menggantinya dengan sistem yang dibuat oleh manusia. Mereka ini dikatakan thaghut karena telah melampaui batasnya. Yakni melampaui batas dalam posisi sebagai orang yang diikuti. (3. atau yang di taati) termasuk di dalamnya para pemimpin dan pemerintah yang tidak mentaati Allah SWT, yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Dengan makna ini mereka dikatakan thaghut. Mereka telah melampaui batasannya karena telah membiarkan dirinya untuk ditaati dalam perkara yang dilarang Allah. Demikianlah makna dari definisi yang telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim RHM.

Jika diukur dari definisi Ibnul Qayyim maka jelaslah bahwa thaghut itu banyak macamnya. Karena setiap yang disembah dan yang ditaati (dengan cara melampaui batas) dikatakan thaghut. Namun dari hasil pengamatan dan penelitian dapat ditetapkan bahwa intinya ada lima, dan yang lainnya merupakan cabang dari yang lima ini.

Gembongnya adalah lima: Pertama, Iblis. Karena ia adalah penyeru untuk beribadah kepada selain Allah. Ia adalah thaghut nomor satu. Firman Allah :

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَن لاَّتَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin; 30).

Yang dimaksud dengan menyembah setan adalah mentaatinya. Maka termasuklah di dalamnya semua bentuk kekufuran dan kedurhakaan, semua itu tergolong mentaati setan dan menyembahnya.

Kedua, orang yang rela untuk disembah atau bertawasul dengannya dan memberikan untuknya salah satu dari jenis ibadah lalu ia rela diperlakukan seperti itu maka orang tersebut adalah thaghut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:

وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim.” (QS. Al Anbiya’;29)

Ketiga, seorang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya. Yaitu mereka yang mengajak orang lain untuk menyembah dirinya. Hal ini sesuai dengan kondisi sebahagian guru-guru sufi yang sesat dan lainnya. Mereka menyetujui sikap berlebihan yang diberikan kepada mereka dan suka dengan pengagungan manusia terhadap mereka.

Keempat, seorang yang mengaku mengetahui perkara ghaib. Mereka seperti ahli nujum, tukang-tukang ramal yang mengaku mengetahui tentang perkara ghaib. Allah SWT berfirman:

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al Jin-26-27).

Firman Allah SWT:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (QS. Al An’am;59)

Tidak ada yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah Ta’ala dan para nabi dan rasul yang telah diberi wahyu oleh Allah tentangnya.

Kelima. Orang yang berhukum dengan selain hukum. Karena Allah SWT berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oarng yang kafir. (QS. Al Midah;44)

Pada ayat kedua disebutkan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. Al Maidah; 45)

Dan pada ayat ketiga disebutkan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.(QS. Al Maidah;47)

Apakah sifat yang disebutkan di atas tersebut adalah sifat untuk beberapa orang ataukah untuk satu orang? Atau dua sifat yang berbeda? Para ulama berpendapat apakah sifat tersebut hanya untuk satu orang, yakni seorang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka orang tersebut disebut kafir, zhalim dan fasik sesuai kondisi orang tersebut. Berhukum kepada selain hukum Allah bila ditinjau dari keingkarannya terhadap syariat Allah maka orang tersebut kafir. Jika ditinjau dari pelanggarannya terhadap hak-hak manusia dan kezhalimannya terhadap hak-hak Allah Ta’ala dalam menetapkan syariat, maka orang tersebut zhalim, karena zhalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dari sisi ini, ia telah keluar dari syariat Allah dan ia dikatakan fasik. Karena fasik artinya khuruj (keluar). Dan tiga sifat ini juga dapat dikatakan untuk satu orang. Allah SWT berfirman: وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ artinya dan orang-orang kafir itu adalah orang zhalim. Yaitu orang kafir disebut juga orang zhalim. Firman Allah SWT:

إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”(QS. At-Taubah: 84)

Kekafiran mereka disebut fasik. Terkadang seseorang dikatakan kafir, zhalim dan fasik, karena Allah Ta’ala menyebutkan orang-orang kafir dengan sebutan zhalim dan fasik.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sifat-sifat ini ditujukan untuk dua jenis orang, sesuai dengan pendorong yang membawanya untuk berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah karena yakin bahwa hukumnya lebih sesuai atau hukumnya sederajat dengan hukum Allah Ta’ala maka orang tersebut kafir keluar dari agama Islam. Adapun jika ia berhukum dengan selain hukum Allah dengan tidak memandangnya remeh dan tidak berkeyakinan bahwa selain hukum Allah itu lebih baik, maka orang tersebut disebut zhalim. Dan jika ia berhukum dengan selain hukum Allah dan berkeyakinan bahwa hukum Allahlah yang paling bermanfaat dan yang sesuai, sedang hukum yang lain tidak ada kebaikan di dalamnya, tapi ia tetap berhukum dengan selain hukum Allah karena mempertahankan pemerintahannya atau karena mendapat suapan dan yang semisalnya, maka orang ini disebut dikatakan fasik. Dengan pendapat ini maka sifat-sifat tersebut disesuaikan dengan sebab yang mendorong orang tersebut untuk berhukum dengan selain hukum Allah.

~**~ Tidak Sembarang Memvonis ~**~


وَلاَ نُنَزِّلَ أَحَداً مِنْهُمْ جَنَّةً وَلاَ نَاراً، وَلاَ نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلاَ بِشِرْكٍ وَلاَ بِنِفَاقٍ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى

(78) Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka sebagai penghuni surga atau neraka. Kami pun tidak memvonis mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama pada diri mereka tidak tampak kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala.

Ahlussunnah wal Jamaah tidak memastikan seseorang dari Ahlikiblat sebagai penghuni surga atau neraka, kecuali mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah saw sebagai penghuni surga atau neraka; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan beberapa orang sahabat lainnya. Ahlussunnah tetap meyakini bahwa di antara para pelaku dosa besar, selagi masih mukmin muwahid, ada yang dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka, lalu diangkat—dikeluarkan dari neraka setelah dibersihkan dari dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, baik karena mendapatkan syafaat maupun karena sudah bersih dari dosa.

Menurut akidah Ahlussunnah, perkara surga-neraka adalah perkara yang menyangkut hakikat batin dan hal gaib. Hanya Allah yang mengetahui hakikat batin seseorang dan hanya Dia pula yang mengetahui segala yang gaib. Ahlussunnah berpegang kepada firman Allah,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (Al-Isra`: 36)

Tiga madzhab

Ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan Salaf mengenai pemastian Ahlikiblat menjadi penghuni surga. Para Salaf terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, mereka yang hanya memastikan para nabi sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hanafiyah dan al-Awza’i.

Kedua, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi, siapa-siapa yang disebut sebagai penghuni surga dalam nash pun dipastikan sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan para ahli hadits. Inilah pendapat pertengahan dan yang paling kuat.

Ketiga, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi dan orang-orang yang disebut dalam nash, orang-orang yang disaksikan oleh orang-orang yang beriman sebagai penghuni surga pun mereka pastikan sebagai penghuni surga. Pendapat ini disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berbunyi, “Serombongan orang memikul jenazah. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ Kemudian serombongan orang memikul jenazah yang lain. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang tidak baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ ‘Umar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang begitulah?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Jenazah yang kalian sebut baik itu akan masuk surga, sedangkan yang kalian sebut tidak baik itu akan masuk neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi.’.”

Pendapat yang ketiga ini tidak kuat lantaran kesaksian orang-orang yang ditinggalkannya sebagai penghuni surga hanya menempati posisi doa atau syafaat, dan tidak dapat memastikannya sebagai penghuni surga.

Kasus yang pernah terjadi pada masa Nabi tersebut tidak dapat dijadikan dalil umum. Selain mungkin itu berlaku khusus untuk dua jenazah yang dipikul melewati Nabi beserta para sahabat pada waktu itu, bisa jadi juga Nabi mengetahuinya karena mendapatkan wahyu dari Allah.

Demikianlah akidah Ahlussunnah mengenai Ahlikiblat yang meninggal dunia. Sedangkan orang-orang kafir seperti Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala, Ahlussunnah tidak ragu dalam memastikan mereka sebagai penghuni neraka.

Tidak sembrono memvonis kafir-musyrik-munafik

Memvonis salah seorang Ahlikiblat sebagai seorang kafir, musyrik, atau munafik adalah sama. Sama-sama memastikannya sebagai seseorang yang telah keluar dari Islam dan nihilnya iman dari hatinya. Ketiga-tiganya—orang kafir, musyrik, dan munafik akbar—adalah penghuni neraka selama-lamanya. Bahkan munafik akbar mendapatkan tempat di dasar neraka. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa`: 145)

Jika mendapati seseorang dari kalangan Ahlikiblat melakukan perbuatan kufur, syirik, atau nifak, Ahlussunnah menyatakan bahwa pada diri orang itu ada kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Pada saat itulah amar makruf nahyi munkar dan al-wala` wal bara` ditegakkan. Kemungkaran diingkari dan kepada pelakunya diterapkan bara` sekadar dengan kemungkaran yang mereka lakukan.

Adalah sahabat Hudzaifah bin Yaman ra yang diberitahu oleh Rasulullah saw mengenai siapa saja penduduk Madinah yang munafik. Umar bin Khattab ra mengetahui hal itu. Maka ia berusaha mencari tahu dan mendesak Hudzaifah untuk memberitahunya. Namun Hudzaifah menolak, karena menjaga rahasia itu adalah amanat dari Rasulullah saw. Oleh karena itulah, lantaran kecintaan Umar kepada kebenaran dan kebenciannya kepada kemunafikan, jika ada penduduk Madinah yang meninggal dunia, ia tidak terburu-buru menyalatinya sampai Hudzaifah menyalatinya. Jika Hudzaifah tidak menyalatinya, Umar pun tidak menyalatinya. Hal ini hanya dilakukan oleh Umar, sahabat yang lain tidak mengikuti cara Umar. Mereka tetap menyalati siapa saja dari penduduk Madinah yang meninggal dunia.

Sikap Hudzaifah dan Umar adalah sikap pribadi. Hudzaifah diberitahu tentang kepastian nihilnya iman dari hati orang-orang yang tidak disalatinya dari Rasulullah saw. Sedangkan Umar, dia “hanya” tidak mau menyalati mereka, bukan memvonisnya sebagai munafik.

Meskipun tidak sebarang memvonis personal, Ahlussunnah tetap memvonis kafir secara umum (takfir mutlak); yakni mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan perbuatan kufur akbar, syirik akbar, atau nifak akbar maka ia adalah seorang kafir, musyrik, atau munafik.

Menyerahkan urusan hati kepada Allah

Jika di antara orang-orang yang tetap dinyatakan sebagai orang-orang yang beriman (tidak divonis kafir, musyrik, atau munafik) itu ternyata ada yang sebenarnya sudah kafir, musyrik, atau munafik dalam pandangan Allah, maka Ahlussunnah tidaklah salah langkah. Urusan hati mereka adalah urusan Allah. Ahlussunnah mengurus zhahirnya. Yang demikian itu karena Ahlussunnah menghukumi (orang lain) berdasarkan zhahirnya.

Usamah bin Zaid ra bertutur, “Rasulullah saw mengirim kami dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi hari. Aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah,’ tetapi aku tetap membunuhnya. Kejadian itu menggelisahkanku sehingga aku sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bertanya, ‘Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ dan engkau tetap membunuhnya?’ Kujawab, ‘Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?’ Beliau terus mengulangi perkataan itu kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Rasulullah saw bersabda, “Aku tidak diperintah untuk membedah hati orang dan membelah dada mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Zhahir seorang mukmin adalah mukmin meskipun ia melakukan berbagai dosa; termasuk dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan, sampai diketahui—dengan cara Ahlussunnah—bahwa di hatinya sudah tidak ada iman lagi. Seorang mukmin bisa saja melakukan dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan karena ketidaktahuan atau ketidaksengajaannya sehingga pada saat itu ia tidak boleh divonis kafir, musyrik, atau munafik. Wallahu a’lam.

Imtihan Syafi'i ~ ar-risalah

~**~ Dosa dan Penebus Dosa ~**~



(76) Apabila para pelaku dosa besar di antara umat Nabi Muhammad saw meninggal dunia sebagai orang-orang yang bertauhid dan masuk neraka, mereka tidak akan kekal di dalamnya meskipun mereka belum bertaubat (dari dosa besar yang mereka lakukan) setelah mereka berjumpa Allah sebagai orang-orang yang bermakrifah. Kedudukan mereka tergantung kepada kehendak dan keputusan Allah. Jika Allah berkehendak, Dia mengampuni dan memaafkan mereka dengan kemurahan-Nya, sebagaimana difirmankan-Nya: “… dan mengampuni selain dosa syirik bagi yang dikehendaki-Nya…” Jika Allah berkehendak (lain), Dia mengazab mereka di neraka dengan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat mereka—orang-orang yang taat—yang diizinkan memberi syafaat. Kemudian Allah mengirim mereka ke surga-Nya. Yang demikian itu karena Allah adalah wali orang-orang yang bermakrifah kepada-Nya. Dia tidak menjadikan mereka seperti orang-orang ingkar yang jauh dari hidayah-Nya dan tidak mendapatkan perwalian dari-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Ya Allah, Wali Islam dan orang-orang Islam, teguhkanlah kami di atas Islam sampai kami berjumpa denganmu.

Berbeda dengan matan-matan sebelumnya yang relatif pendek-padat, matan ke-75 ini terbilang matan yang panjang-detail. Dengan matan ini Abu Ja’far ath-Thahawi menerangkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah tentang status dan nasib pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat.

Epistemologi Dosa Besar

Para ulama akidah berbeda pendapat dalam mendefinisikan dosa besar. Ada yang mengatakan dosa besar adalah dosa-dosa yang keharamannya disepakati dan yang kecil adalah yang diperselisihkan. Ada yang menyatakan bahwa dosa besar adalah perkara yang dapat menghalangi makrifah kepada Allah atau hilangnya harta dan nyawa. Ada juga yang menyatakan, dosa besar adalah besar dibandingkan dengan dosa yang lebih kecil. Yang paling kuat adalah mereka yang menyatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang pelakunya diancam dengan hukum had, atau murka Allah, atau laknat, atau neraka, atau Rasulullah saw menyatakan berlepas diri dari pelakunya.

Ada empat alasan penarjihan definisi terakhir, yaitu:

Pendapat inilah pendapat yang ma`tsur dari para salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Uyaynah, Imam Ahmad.

Allah telah berfirman,

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil).” (An-Nisa`: 31)

Orang yang terancam murka, laknat Allah, dan neraka tidak akan mendapatkan janji ini. Pun mereka yang terancam hukum had kesalahannya tidak dimaafkan dengan menjauhi dosa besar.

Dengan pendapat ini, dapat dibedakan mana dosa besar dan mana dosa kecil. Mereka yang mengatakan bahwa dosa besar adalah yang disepakati syara’ dan yang kecil adalah yang diperselisihkan akan menganggap beberapa perkara besar yang diperselisihkan seperti menikahi sebagian mahram karena persusuan dan perbesanan sebagai dosa kecil dan bahwa memakan sesuap nasi milik anak yatim, mencuri sebiji kurma, dan berdusta sekali dan ringan sebagai dosa besar. Yang menyatakan bahwa dosa besar adalah perkara yang dapat menghalangi makrifah kepada Allah atau hilangnya harta dan nyawa akan menyatakan bahwa makan daging babi, makan bangkai, dan makan darah bukan sebagai dosa besar. Orang yang mengatakan bahwa dosa besar adalah besar dibandingkan dengan yang lebih kecil tidak akan pernah mengklasifikasi dosa menjadi besar dan kecil.

Status Pelaku Dosa Besar

Matan ini menegaskan bahwa menurut Ahlussunnah pelaku dosa besar –selama tidak menghalalkannya—masih memiliki iman. Iman muqayyad bukan iman mutlak. Mereka mukmin dengan imannya dan fasiq lantaran dosa besar yang dilakukannya. Ini berbeda dengan pendapat Murji`ah yang mengatakakan, mereka adalah mukmin yang sempurna imannya selagi di hati mereka meyakini iman. Kemaksiatan tidak mengurangi iman mereka.

Pelaku dosa besar selain syirik besar dan kufur besar tidaklah batal imannya. Jika mereka meninggalkan dunia ini sebelum bertaubat dari dosa besar yang mereka lakukan, status mereka adalah tahtal masyiah, tergantung kepada kehendak Allah. Bisa jadi Allah mengampuni dan memaafkan mereka dengan kemurahan-Nya. Bisa jadi juga Dia mengazab mereka di neraka dengan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat orang-orang taat yang diizinkan memberi syafaat, kemudian Allah memasukkan mereka ke surga-Nya. Ini berbeda dengan akidah Khawarij dan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang kekal di neraka.

Pijakan Ahlussunnah dalam hal ini adalah hadits-hadits shahih. Di antaranya adalah:

Akan keluar dari neraka siapa saja yang di hatinya ada iman seberat debu. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah ‘Laa ilaaha illallaah’ pasti masuk surga.” (HR. al-Bukhari)

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selailn Allah, tulus-murni dari hatinya, pasti masuk surga.” (HR. Ahmad, shahih)

Selain itu banyak ayat yang menerangkan, Allah tidak akan menyamakan orang-orang yang taat kepada-Nya dengan yang bermaksiat. Janji dan ancaman ini berlaku di dunia dan di akhirat. Di antara ayat-ayat itu adalah:

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?” (Shad: 28)

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-Jatsiyah: 21)

Masuknya pelaku dosa besar ke dalam neraka adalah ancaman dari Allah. Boleh saja Allah tidak melaksanakan ancaman-Nya sebagai bentuk rahmat dan anugerah-Nya. Jika pelaku dosa besar bertaubat di dunia, Allah pasti mengampuninya dan tidak melaksanakan ancaman-Nya. Demikian pula jika dosanya telah dibersihkan dengan pemberlakuan hukum had atau ia melakukan amalan penghapus dosa atau karena sebab lain, atau Allah mengampuninya tanpa sebab selain rahmat dan anugerah-Nya.

Ibnu Taymiyah berkata, “Apabila sebab-sebab yang dapat menggugurkan sanksi terbesar ini—yakni masuk neraka—tidak ada, dan itu hanyalah untuk orang yang berpaling dan lari dari Allah sebagaimana larinya onta yang lepas dari kawanannya, ia akan diazab oleh Allah di neraka, kemudian akan dikeluarkan darinya.”

Sebab-sebab yang dimaksud Ibnu Taymiyah adalah taubat, istighfar, amal kebajikan, doa seorang muslim untuk saudaranya, musibah yang dapat menghapus dosa, kengerian dan azab kubur, dan kengerian hari kiamat.

Tawadhu’nya Abu Ja’far

Doa di akhir matan adalah gambaran ketawadhu’an Abu Ja’far ath-Thahawi, penulis matan akidah ini. Meskipun beliau orang yang sangat paham akidah Ahlussunnah, namun beliau tidak merasa sombong dan yakin akan selamat di dunia dan di akhirat. Karena itulah beliau memohon kepada Allah agar diistiqamahkan di jalan yang benar. Dalam hal ini kiranya beliau meneladani Nabi Ibrahim.

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Duhai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari paganisme!’.” (Ibrahim: 35)

Meskipun al-Khalil pernah menghancurkan ratusan berhala, ia tidak merasa sombong dan yakin akan selamat dari paganisme, penyembahan kepada berhala. Maka beliau pun memohpn kepada Allah agar dijauhkan darinya.

Wallahul Muwaffiq.

Imtihan Syafi'i ~ ar-risalah

*~~* Iman kepada Para Rasul *~~*


وَنَحْنُ مُؤْمِنُوْنَ بِذَلِكَ كُلِّهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَى مَا جَاءُوْا بِهِ

(75) Kami beriman kepada semua (rukun iman) itu. Kami tidak membedakan antara para Rasul-Nya. Kami membenarkan mereka semua, membenarkan ajaran mereka semua.

Matan ini diawali dengan penegasan bahwa pilar iman atau rukun iman yang enam menurut Ahlussunnah wal Jamaah adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir. Kemudian Abu Ja’far ath-Thahawi melanjutkannya dengan pembahasan iman kepada para rasul.

Hubungan iman kepada Allah dengan iman kepada rasul

Orang yang mengaku beriman kepada Allah namun tidak beriman kepada para rasul, sejatinya tidak mengagungkan dan menghormati Allah sebagaimana mestinya. Siapa yang mengklaim beriman kepada Allah tetapi tidak beriman kepada para rasul, sejatinya dia telah kafir kepada Allah.

Mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya. Yakni saat mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.’.” (QS. Al-An’am: 91)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan para rasul-Nya, serta bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan para rasul-Nya dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada yang sebagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisa`: 150-151)

Tentang dua ayat an-Nisa` ini al-Qurthubi berkata, “Allah menegaskan bahwa membedakan antara Allah dan para rasul-Nya adalah kekafiran. Yang demikian itu karena Allah memfardhukan atas manusia untuk beribadah kepada-Nya dengan syariat-Nya yang disampaikan oleh para rasul. Jika manusia menolak para rasul berarti mereka juga menolak syariat yang mereka bawa, tidak menerimanya. Dengan begitu, mereka pun menolak untuk tunduk kepada ubudiyah yang diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itulah, mereka dianggap melakukan penolakan terhadap Yang Maha Mencipta. Mengingkari Yang Maha Mencipta sama dengan kafir karena di dalamnya ada bentuk meninggalkan komitmen kepada ketaatan dan ubudiyah kepada Allah. Maka demikian pula halnya dengan membedakan antara Allah dan para rasul-Nya.”

Kafir kepada satu sama dengan kafir kepada semua

Allah telah menegaskan bahwa kafir kepada seorang rasul sama dengan kafir kepada seluruh rasul. Allah berfirman,

Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.”(QS. asy-Syu’ara`: 105)

Kaum ‘Ad telah mendustakan para rasul.” (QS. asy-Syu’ara`: 123)

Kaum Tsamud telah mendustakan para rasul.” (QS. asy-Syu’ara`: 141)

Kaum Luth telah mendustakan para rasul.” (QS. asy-Syu’ara`: 160)

Sudah dimaklumi oleh semua muslim bahwa kaum-kaum yang disebut dalam ayat-ayat di atas hanya kafir kepada seorang rasul. Rasul yang diutus oleh Allah kepada masing-masing mereka. Namun, Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang kafir kepada semua rasul. Yang demikian itu karena ajaran yang dibawa oleh semua rasul itu sama, yang mengutus mereka pun sama.

Selain secara tegas menyebut bahwa orang yang kafir kepada seorang rasul sebagai orang yang kafir kepada semua rasul, sebenarnya Allah telah memerintahkan kita untuk beriman kepada para rasul dan tidak membeda-bedakan antara mereka.

Katakanlah (hai orang-orang yang beriman), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Ruhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’ Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dia-lah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 136-137)

Allah juga memuji dan menyediakan pahala bagi orang-orang yang beriman kepada semua rasul, tidak kafir kepada yang sebagian.

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (an-Nisa`: 152)

Makna larangan Nabi

Demikianlah, yang dimaksud dengan ungkapan tidak membedakan antara para rasul adalah hanya beriman kepada sebagian rasul. Oleh karena itulah orang-orang Yahudi yang beriman kepada Nabi Musa AS dan orang-orang Nasrani yang beriman kepada Nabi ‘Isa AS menjadi kafir lantaran tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, “Janganlah kalian mengutamakanku di atas para nabi!” (HR. al-Bukhari)

Apabila hadits di atas dipahami secara tekstual, akan hadirlah makna yang salah. Sebab dalam banyak ayat Allah telah mengutamakan beliau—dan beberapa nabi—di atas para nabi yang lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah mensyarah hadits di atas sebagai berikut:

“Mengenai larangan beliau untuk membeda-bedakan keutamaan para nabi, para ulama berkata, ‘Larangan itu berlaku untuk yang mengatakannya dengan pendapat pribadi, tidak berlandaskan dalil. Atau untuk orang yang mengatakannya sehingga menimbulkan penistaan terhadap yang dibandingkan, atau apabila pembedaan itu mengakibatkan percekcokan danperselisihan, atau maksudnya adalah, ‘Jangan kalian mengutamakan dengan segala keutamaan sehingga tidak ada lagi keutamaan yang dimiliki oleh yang dibandingkan!’.” (Fathul Bari: 2/446)

Ragam keutamaan para Rasul

Pembedaan antara para rasul telah dilakukan oleh Allah. Maksud pembedaan di sini adalah bahwa Allah membedakan keutamaan di antara mereka.

Sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain).” (QS. Al-Isra`: 55)

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus.” (QS. al-Baqarah: 253)

Termasuk pengutamaan juga, Allah menyebut beberapa rasul sebagai rasul ulul azmi, mengistimewakan Nuh AS sebagai rasul pertama dan menggelarinya dengan sebutan ‘abdan syakura (hamba yang amat bersyukur), mengistimewakan Ibrahim AS sebagai khalil-Nya (kekasih sejati-Nya) dan menyebutnya sebagai imam, serta mengistimewakan ‘Isa AS dengan kelahirannya yang tanpa ayah dan ia adalah kalimat yang ditetapkan Allah kepada ibunya, Maryam.

Ribuan nabi ratusan rasul satu ajaran

Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa jumlah Nabi dan Rasul tidak hanya 25. Ada ratusan rasul dan ribuan nabi. Abu Dzar RA pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Berapakah jumlah para nabi?” Beliau menjawab, “124.000 orang; di antara mereka ada 315 rasul, jumlah yang banyak.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih, menurut al-Albani)

Ajaran semua nabi dan rasul adalah Islam. Islam bukan nama ajaran satu nabi tertentu, tetapi ia adalah nama yang sama-sama dimiliki oleh ajaran semua nabi dan rasul.

Ibrahim berkata, “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam!” (QS. al-Baqarah: 132)

Musa berkata, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah hanya kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang Islam.” (QS. Yunus: 84)

Tentang Hawariyun, Allah berfirman, “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail), ia berkata, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para Hawariyin (sahabat-sahabat setianya) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam.”(QS. Ali ‘Imran: 52)

Wallahu a’lam.

Imtihan Syafi'i ~ ar-risalah

~**~ Rukun Iman ~**~


وَاْلإِيْمَانُ هُوَ اْلإِيْمَانُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ وَحُلْوِهِ وَمُرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى

(74) Iman adalah iman kepada Allah SWT, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para rasul Allah, hari akhir, dan takdir; yang baik, yang buruk, yang manis, dan yang pahit, semua dari Allah SWT

Dengan matan ini Abu Ja’far ath-Thahawi menegaskan, akidah Ahlussunnah wal Jamaah tentang iman adalah bahwa iman dibangun di atas enam rukun. Keenam rukun iman itu disebut oleh Rasulullah SAW saat beliau ditanya oleh malaikat Jibril AS yang datang serupa lelaki berbaju putih menemui beliau dan para sahabat. Kabar kedatangan Jibril itu diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

“… Jibril bertanya, ‘Kabarkan kepadaku, apakah iman itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Iman itu hendaknya kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.’ ‘Benar,’ kata Jibril.”

Kedudukan Rukun

Rukun berarti pilar atau asas. Ketika seseorang ingin membangun rumah, bagian pertama yang mesti diperhatikannya adalah pilar atau asas bakal rumahnya. Sebaik dan seindah apa pun bagian-bagian rumahnya yang lain, apabila pilar dan asas rumahnya keropos, umur rumahnya tak akan lama. Demikian pula halnya dengan bangunan keimanan seseorang. Jika si pemilik bangunan tidak mempedulikan pilarnya, dapat dikatakan bangunan imannya berada di tepi jurang kesirnaan.

Dari sini, kontinyu mengoreksi dan berkala mengevaluasi pilar iman menjadi suatu kelaziman bagi setiap orang yang mengaku beriman dan ingin diselamatkan oleh Allah SWT di akhirat kelak.

Cakupan Iman kepada Allah

Beriman kepada Allah SWT maknanya meyakini eksistensi Allah SWT, membenarkan semua kabar yang ada di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai rububiyah dan uluhiyah-Nya, serta menetapkan semua nama-nama indah dan sifat-sifat-Nya yang tersebut di dalam keduanya. Menetapkan semua nama dan sifat itu sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah SAW. dan para Salaf; tidak mentakwil, tidak menganggapnya serupa dengan makhluk, dan tidak membahas atau membicarakan kaifiyatnya.

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54)

“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman! Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaul Husna.’.” (QS. Al-Isra`: 110)

Malaikat Bukti Kuasa Allah

Beriman kepada malaikat yakni meyakini bahwa para malaikat adalah makhluk Allah SWT, bukan anak perempuan Allah. Allah SWT menciptakan mereka dari cahaya. Allah SWT menciptakan mereka sebagai hamba yang selalu tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Allah menciptakan mereka bukan karena tidak kuasa mengatur alam raya sendiri. Sebaliknya, menciptakan makhluk yang tunduk kepada-Nya dan menaati segala perintah-Nya menunjukkan betapa tanpa batas kuasa-Nya.

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.” (QS. Fathir: 1)

“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Rabb-mu tidaklah merasa enggan beribadah kepada Allah, mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud.” (QS. Al-A’raf:206)

Hujjah Allah Kemurahan Allah

Agar manusia dapat menjalani hidup di dunia dengan aman-damai dan diliputi berbagai kemaslahatan serta jauh dari berbagai kelaliman, kesewenang-wenangan, dan marabahaya, Allah SWT menurunkan kitab suci untuk mereka. Kitab suci yang menjadi pertanda kasih sayang-Nya kepada manusia.

Beriman kepada kitab-kitab Allah SWT berarti mempercayai bahwa Taurat, Zabur, Injil, al-Qur`an, berbagai kitab yang namanya tidak disampaikan kepada kita dan semua shuhuf—di antaranya diberikan kepada nabi Ibrahim AS —berisikan kalam Allah yang mesti dan sudah disampaikan oleh para Nabi kepada umat masing-masing. Kecuali Nabi Muhammad SAW. yang kitabnya diberlakukan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia sejak beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Al-Qur`an me-nasakh, menghapus kitab-kitab yang sebelumnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (QS. an-Nisa: 136)

“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqon (al-Qur`an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. al-Furqan: 1)

Satu Tauhid Beragam Syariat

Beriman kepada para rasul artinya percaya bahwa tidak ada satu umat pun yang dibiarkan oleh Allah SWT tanpa diutusnya seorang rasul yang memberi penjelasan tentang kewajiban mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya serta memberi peringatan akan adanya hari akhir, hari pembalasan segala amal. Tauhid yang diajarkan para rasul satu. Hanya, tata cara mentauhidkan Allah SWT dan beribadah kepada-Nya berbeda-beda antara satu umat dengan umat yang lain.

Termasuk Iman kepada Rasul, beriman bahwa mereka telah menyampaikan dan menjelaskan semua yang diamanahkan oleh Allah SWT untuk mereka sampaikan. Penjelasan yang terperinci yang tidak membuka kemungkinan bodohnya umat yang mereka beri kabar gembira dan peringatan, sehingga—tidak bisa tidak—haram bagi mereka menyelisihinya.

“Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka (ada) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. al-Mukmin: 78)

“Tidak ada kewajiban atas para rasul selain menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. an-Nahl: 35)

Tujuan Akhir Jaminan Keadilan

Terkadang di dunia ini seseorang hidup dalam keadaan terzhalimi sampai mati. Dengan memiliki iman kepada hari akhir, ia tetap dapat menjalani kehidupan yang perih-pedih dengan dada lapang. Sebab, ia dapat menaruh asa dan harapannya terhadap balasan atas kesabarannya di kehidupan berikutnya, kehidupan yang sejati.

“Mereka selalu mengatakan, ‘Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah/tulang belulang, kami benar-benar akan dibangkitkan? Apakah bapak-bapak kami terdahulu (akan dibangkitkan pula)?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan kemudian benar-benar akan dikumpulkan pada waktu tertentu pada hari yang telah dikenal.’.” (QS. al-Waqi’ah: 47-50)

Para ulama menyatakan bahwa iman kepada hari akhir meliputi empat perkara:

a. Iman kepada kematian, bahwa semua makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah SWT akan merasakannya dan masing-masing telah tertulis ajalnya. Ajal yang tak dapat diajukan atau diundurkan.

b. Iman kepada apa yang terjadi di alam kubur, pertanyaan malaikat, serta percaya kepada adzab dan nikmat kubur.

c. Iman kepada hari Kiamat dan tanda-tandanya; baik yang besar seperti datangnya Dajjal, turunnya nabi Isa AS, terbitnya matahari dari arah tenggelamnya, atau yang kecil seperti munculnya banyak nabi palsu, pasar yang dipenuhi perempuan, dan tanda-tanda lain yang disebut oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih.

d. Iman kepada berbagai hal dan peristiwa yang mengikuti kejadian hari Kiamat seperti ditiupnya shur (sangkakala), hari kebangkitan, hasyr (peristiwa dikumpulkannya semua manusia di satu tempat), hisab, mizan, shirath (titian di atas neraka), surga, neraka, telaga kautsar, dan syafaat.

Hidup Nikmat Bersama takdir

Beriman kepada takdir artinya percaya dan yakin bahwa semua peristiwa dan segala yang ada di dunia ini terjadi dengan kehendak Allah SWT. Tidak ada sesuatu pun yang keliru sehingga jatuh tidak pada tempatnya. Seseorang yang mendapatkan musibah adalah seseorang yang memang dikehendaki oleh Allah SWT untuk mendapatkannya. Bahkan jika setelah mendapatkan musibah itu ia mendapatkan musibah lagi. Allah SWT sama sekali tidak keliru. Demikian pula halnya dengan orang yang mendapatkan berbagai kenikmatan.

Musibah atau pun kenikmatan, sejatinya kita telah diajari bagaimana menyikapinya. Bersabar dan bersyukur. Yang pasti, saat kita diuji oleh Allah SWT dengan salah satu dari keduanya, Allah SWT sudah menakar bahwa kita mampu menghadapinya sesuai dengan aturan dan syariat-Nya.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286)

Ketetraman dan kesejahteraan batin kita dalam menjalani hidup di dunia ini berbanding lurus dengan iman kita kepada takdir.

Wallahu a’lam.

Imtihan Syafi'i ~ ar-risalah

*~~* Faktor Kuat-Lemah Iman *~~*


بِالْخَشْيَةِ وَالتُّقَى وَمُخَالَفَةِ الْهَوَى وَمُلاَزَمَةِ اْلأَوْلَى

(72) Iman itu satu. Dalam hal pangkal iman, orang-orang yang beriman itu sama. Perbedaan (keutamaan iman) di antara mereka disebabkan oleh perbedaan rasa takut kepada Allah, ketakwaan, (ketahanan) menyelisihi hawa nafsu, dan (kekuatan) menetapi perkara yang utama.

Pernyataan Abu Jakfar ath-Thahawi, “Iman itu satu,” termasuk pernyataan yang—lagi-lagi—diperbincangkan para ulama. Pasalnya, pernyataan ini dapat berkonsekuensi membenarkan pengakuan seseorang bahwa imannya sama dengan iman para nabi atau bahkan iman para malaikat. Tentu saja maksud ath-Thahawi tidak berlebihan atau ghuluw seperti itu.

Ath-Thahawi seperti halnya Imam Abu Hanifah mendefinsikan iman secara bahasa. Sedangkan para ulama yang lain mendefinisikannya secara istilah syar’i, bahwa iman meliputi pembenaran dan keyakinan hati, ucapan lisan, serta amal anggota badan. Ath-Thahawi memaksudkan iman yang satu itu adalah tashdiq, pembenaran/kepercayaan hati. Inilah yang selanjutnya beliau sebut dengan ashlul iman, pangkal iman. Dasar yang dipakai adalah firman Allah,

“Kamu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang jujur.” (QS. Yusuf: 17)

Perumpamaan pangkal iman seperti pangkal akal. Orang-orang yang berakal sama-sama memilikinya dalam arti tidak gila. Hanya saja akal sebagian orang lebih baik dan lebih sempurna daripada yang lain.

Ada juga yang mengumpamakan iman dengan penglihatan. Tidak diragukan bahwa penglihatan orang-orang yang dapat melihat itu tidak sama. Ada yang sempurna, ada yang rabun dekat, ada yang rabun jauh, dan ada pula yang hanya dapat melihat di siang hari. Yang pasti semua sama-sama dapat melihat. Oleh karena itulah Abu Jakfar mengatakan, “Dalam hal pangkal iman, orang-orang yang beriman itu sama.” Beliau mengisyaratkan, orang-orang yang beriman itu sama-sama memiliki pangkal iman. Kesamaan itu hanya pada pangkalnya, bukan pada segala aspeknya.

Tashdiq yang utuh

Tashdiq atau pembenaran dengan hati harus utuh, tak boleh dikurangi dan tak dapat dibagi-bagi. Jika ia berkurang, yang ada adalah keraguan. Keraguan bukanlah iman. Ruang lingkupnya adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari Allah.

Barangsiapa membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW maka ia adalah mukmin dengan keimanan yang diketahui oleh Allah. Kemudian Allah mensyaratkan kepadanya agar mengikrarkan keimanannya itu dengan lisan. Agar dalam pandangan orang lain ia juga dipandang sebagai seorang mukmin di dunia. Jika ia tidak mau, meskipun di hatinya ia beriman, namun sebenarnya ia melakukan kekafiran. Yakni kekafiran juhud (penolakan) dan takdzib (pendustaan). Juhud dan takdzib adanya di dalam hati. Ini menunjukkan bahwa hati adalah tempat bersemayamnya (pangkal) iman, bukan pada lisan atau anggota badan.

Dari sini jelaslah bahwa iman—dalam pandangan ath-Thahawi—bukan hanya tashdiq atau pembenaran sebagaimana kekafiran bukan hanya takdzib atau pendustaan. Iman meliputi membenarkan, menyesuaikan, dan menaati; sebagaimana kekafiran juga meliputi mendustakan, membenci dan menyelisihi.

Bukti bahwa membenarkan juga terjadi dengan perbuatan adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, “Kedua mata berzina—zinanya adalah memandang, kedua telinga berzina—zinanya adalah mendengar, … sedangkan kemaluan membenarkannya atau mendustakannya.”

Pembenaran yang membuahkan amal hati dan amal anggota badan lebih sempurna daripada pembenaran yang tidak membuahkannya. Sebab sesuatu yang semestinya mendatangkan buah namun buahnya tidak datang, berarti sesuatu tadi lemah.

Barangsiapa yang diwajibkan menunaikan haji dan zakat misalnya, ia wajib mengimani dalam arti mengetahui apa yang diperintahkan dan meyakini bahwa Allah mewajibkan atasnya secara detail.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang di hatinya ada tashdiq jazim (pembenaran yang kokoh), tiada syahwat atau syubhat yang mampu menandinginya, niscaya tidak akan muncul kemaksiatan dalam dirinya. Sebab jika syahwat atau syubhat telah dikalahkan, tidak mungkin seseorang itu bermaksiat. Sebaliknya hatinya akan mendorongnya untuk mengisi waktu dengan perkara yang dapat menjauhkannya dari kemaksiataan.

Oleh karena itulah Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seseorang berzina, ia bukanlah seorang mukmin.” Maknanya, pembenarannya yang sejati terhadap keharaman zina sedang hilang; meskipun pangkal kebenaran ada pada dirinya. Setelah ia bertaubat dan beristighfar, pembenarannya pun kembali.

Orang-orang yang beriman, sebagaimana dinyatakan oleh Allah, “apabila ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raf: 201)

Mujahid berkata, “Ini tentang seseorang yang berhasrat untuk berdosa, lalu ia ingat Allah sehingga ia meninggalkannya. Syahwat dan kemurkaan adalah pangkal keburukan. Jika seseorang memandangnya dengan bashirah (mata hati), ia akan kembali.”

Faktor pembeda

Perbedaan tingkat keimanan orang-orang yang beriman disebabkan oleh ketidaksamaan derajat cahaya tauhid—ath-Thahawi mengungkapkannya dengan: rasa takut kepada Allah, ketakwaan, ketahanan menyelisihi hawa nafsu dan kekuatan menetapi perkara yang utama—yang ada di dalam hati mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Ada yang cahaya tauhidnya seperti matahari, ada yang seperti cahaya bintang kejora, ada yang seperti obor besar dan ada pula yang seperti cahaya lilin yang redup. Semakin besar cahaya ini semakin mampu pula ia membakar berbagai fitnah syubhat dan syahwat. Seorang yang cahaya tauhidnya besar, langit hatinya dijaga oleh pelontar api dari kejahatan pencuri. Kelak pada hari Kiamat cahaya itu akan berkilau di kanan dan di depan mereka sekadar dengan keberadaannya di dalam hati saat mereka masih di dunia, sekadar dengan ilmu dan amal mereka.

Kita pun tahu bahwa Allah mengaitkan keberuntungan dan kemenangan sejati pada ucapan syahadat yang disertai dengan keikhlasan dan mengamalkan berbagai konsekuensinya.

Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada ilah yang hak selain Allah,’ dengan hanya mengharapkan wajah Allah.” (Hadits shahih sebagaimana dinyatakan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 1793)

Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits-hadits di atas mansukh. Ada pula yang menyatakan bahwa hadits-hadits itu berlaku ketika berbagai syariat belum ditetapkan, atau yang dimaksud dengan masuk surga adalah kelak orang yang mengucapkannya akan masuk surga juga, meskipun harus masuk neraka dulu. Padahal tidak demikian adanya. Rasulullah SAW tidak memaksudkan ucapan itu sebagai ucapan semata tanpa pembuktian. Ini adalah sesuatu yang jelas. Orang-orang munafik yang mengucapkannya dengan lisan mereka, tetapi mereka menjadi penghuni dasar neraka.

Rasulullah SAW juga bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَة أعلاها قَوْلُ لاَ إِلَه إِلاَّ الله وَأَدْنَاهَا إِمَاطَة الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ

“Iman itu terdiri dari tujuhpuluh sekian cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan ‘Tidak ada ilah yang hak selain Allah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan.” (Hadits shahih riwayat Muslim dan Ibnu Majah)

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang palilng baik akhlaknya.” (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

Lantaran iman meliputi pokok dan berbagai cabang, dan setiap cabang disebut iman, maka shalat juga disebut iman, demikian pula zakat, shiyam, haji, dan berbagai amal batin seperti malu, tawakal, takut kepada Allah. Di antara cabang-cabang itu ada yang membuat iman hilang jika ia hilang—seperti cabang dua kalimat syahadat, dan ada pula yang tidak—seperti cabang membuang rintangan dari jalan. Wallahu a’lam.

Imtihan Syafi'i ~ ar-risalah