Jumat, 09 Desember 2011

~**~ Andai yang Dilantunkan adalah Al-Qur’an ~**~






Imam adz-Dzahabi dalam Kitabnya
Siyar A’lam an-Nubala’ menceritakan kisah taubatnya Zaadzan Abu Amru al-Kindy, seorang ulama senior di kalangan tabi’in,

“Dari Abu Hasyim berkata, “Zaadzan pernah bercerita, “Dahulu aku adalah seorang pemuda yang memiliki suara merdu dan terampil dalam memainkan thanbuur (semacam gitar-pen). Seperti biasa, aku sedang berkumpul dengan kawan-kawanku, ditemani dengan arak dan khamr, sementara aku mendendangkan lagu dan memetik gitarku untuk kawan-kawanku. Ketika itu, Abdullah bin Mas’ud lewat dan memergoki kami. Serta merta beliau memecahkan botol khamr dan gitar, kemudian berkata, “Andai saja yang diperdengarkan dari merdunya suaramu adalah al-Qur’an…”

(versi lain menyebutkan bahwa yang memecahkan botol dan gitar itu adalah Zaadzan sendiri setelah menyadari keteledorannya-pen)

Setelah Ibnu Mas’ud beranjak pergi, aku bertanya kepada teman-temanku, “Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, “Beliau adalah Ibnu Mas’ud, sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.”

Lalu saya memutuskan diri untuk bertaubat, aku mengejar beliau sambil menangis. Aku memegangi ujung bajunya dan berdiri di hadapan beliau, lalu kukatakan, “Demi Allah, aku bertaubat dari apa yang telah kukerjakan dan dari memusuhi Rabbku, aku benar-benar ingin bertaubat!”

Ibnu Mas’ud juga ikut menangis haru dan berkata, “Marhaban, selamat datang sebagai orang yang dicintai oleh Allah ta’ala. Selamat datang sebagai orang yang dicintai oleh Allah.”

(Siyaru A’lam an-Nubalaa’, Imam adz-Dzahabi)

Pada gilirannya, beliau menjadi seorang imam dan qari’ setelah tadinya sebagai pemusik dan penyanyi. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang meriwayatkan hadits.


ar-risalah

Selasa, 06 Desember 2011

~**~ Hukuman Bagi yang Berpaling ~**~






Pernahkah pembaca mendapati orang yang meraih kesuksesan dunia,tapihidup tidak bahagia?Bergelimang materi, tetapi tidak mampu menutupi pancaran duka karena gagal meraih kebahagiaan. Sungguh, saya berharap pembaca tidak termasuk dalam tipe ini.

Benar!Rona wajah yang kusut dan tanpa sinar kebahagiaan tak dapat disepuh dengan make up, tidak pula dapat dipoles lewat kursus penampilan. Meski, wajah tersebut dapat dibuat indah menawan di mata umumnya manusia, namun tak dapat mengelabuhi hamba Allah yang memiliki bashirah, mata hati.

Mata hati dapat dengan mudah mengenali makhluk Allah yang berusaha menyembunyikan kegagalan hidup dibalik penampilanglamour. Dapat pula membedakan antara wajah asli dan wajah yang terbungkus dengan masker kepalsuan. Sehingga terlihat berbeda antara orang yang kantung matanya menggantung karena shalat malam dan munajat dengan begadang setiap malam memikirkan rencana melanggengkan kekuasaan.

Akar Kebahagiaan
Kebanyakan manusia salah persepsi apa sesungguhnyasumber kebahagiaan hidup. Padahal kekeliruan dalam permasalahan ini akibatnya fatal. Contoh di atas, merupakan sebagian dari akibat salah persepsi terhadap sesuatu yang disangka akan mendatangkan kebahagiaan, ketika sesuatu tadi dapat diraih, ternyata kebahagiaan yang diimpikan tidak juga tergapai. Bak mengejar fatamorgana, ketika sampai di tempat yang dikejar, bayangan keindahan itu selalu ada di depannya.

Sesungguhnya sumber kebahagiaan sejati ada pada ma’rifah kepada Allah dan mencintai-Nya sepenuh cinta tanpa menyekutukannya, berharap kepada-Nya dan menunggalkan-Nya dalam harap, takut kepada kemurkaan dan adzab-Nya melebihi takut kepada makhluk-Nya.

Ketika Keagungan Allah Bertahta diKalbu
Kalbu yang telah bertahta padanya Kebesaran dan Keagungan Allah akan menyembul daripadanya beragam ‘amalan hati; yang paling utama adalah mencintai Allah. Cinta ini mengalahkan semua tuntutan dan pengorbanan yang menghalanginya dari meraih cinta-Nya dan bersedia membayar apapun dan berapapun.Ma’rifah dan cinta itu pula yang menjadikan lisan dan qalbu seorang mukmin merasakan tenang kalamenyebut dan mengingat-Nya, serta rindu berkhalwat dengan-Nya dalam khusuknya ibadah. Salah seorang salafmenggambarkan kebahagiaan itu dengan ungkapan, “Tidak ada yang lebih membuatku gelisah dalam 40 tahun ini melebihi (berakhirma malam dan) tibanya fajar”.

Banyak orang menyangka bahwa sumber kebahagiaan ada pada melimpahnya harta. Atau tingginya pangkat dan kedudukan. Ketika semua yang disangka sebagai sumber kebahagiaan tadi telah diraih, ternyata kegelisahan hati dan dahaga kebahagiaan tak juga terobati apalagi terpuaskan. Tak hanya itu, apa yang telah diraihnya bahkan menjadi beban yang semakin menggelisahkan.

Mungkin masih tersisa kebaikan pada orang tersebut, karena masih bisa merasakan kekeringan hati dan kegagalan meraih kebahagiaan. Sehingga masih terbuka pintu kesadaran yang menjadikannya berpeluang untuk menemukan sa’adah atau kebahagiaan sejati jika dia bersungguh-sungguh dan rahmat Allah berpihak kepadanya. Ada yang lebih buruk; hamba Allah yang gagal meraih kebahagiaan, hidup dalam kegersangan hati meski bergelimang dalam kubangan materi, tetapi tidak tahu bahwa dirinya gagal meraih kebahagiaan. Selubung ron(noda) yang menyelimuti hatinya telah demikian tebal, Iblis dan kabilahnya juga telah berhasil menghiasi kegagalannya dengan kesombongan jahiliyah sehingga semua keterpurukannya nampak sebagai keberhasilan,hingga maut menjemput.

Wujud Kasih Sayang-Nya
Allah SWT lebih sayang kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu kepada anak. Tanda kasih sayang itu bukan dengan memanjakan manusia dengan kenikmatan hidup. Melainkan dengan memberikan paduan berupa kitab suci sebagai kabar gembira, peringatan dan pedoman hidup bagi manusia. Barang siapa berpegang teguh kepada kitab suci tersebut, dijamin baginya kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Allah membandingkan manifestasi kasih sayang-Nya tersebut dengan apa yang disangka kebanyakan manusia sebagai sumber kebahagiaan.Firman-Nya :

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 48)

Imam Jalaluddien Al-Mahalli dan Imam Jalaluddien As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘karunia Allah’ dalam ayat ini adalah ‘Islam’ sedang ‘rahmat-Nya’ adalah ‘Al-Quran’. Adapun ‘apa yang mereka kumpulkan’ adalah ‘materidunia’.

Namun sayang, manusia tak menyadari kasih sayang itu. Bukannya mendekat, tapi malah lari menjauh dari Adz-Dzikr (Al-Quran). Sehingga mereka tak akan pernah mendapatkan kecintaan dari Allah. Ada sekat penghalang dalam hati mereka, sehingga gagal meraih cinta-Nya. Sekat itu berwujud materi duniawi yang mereka kumpulkan dengan sangkaan akan membawa kebahagiaan. Kegandrungan kepada dunia itu akan menyirami hawa nafsunya bakbensin menyiram api

Berpaling dari peringatan Allah, mencampakkan pedoman hidup dan enggan menempuh jembatan membentang untuk meraih kasih sayang-Nya berarti ‘membuta’ secara maknawi. Hamba yang berbuat seperti itu pasti akan mendapatkan cicipan adzab di dunia dengan kesempitan hati dan kegundahan. Di alam kubur cicipan adzab itu lebih nyata dan terasa, kuburpun akan menyempit sehingga tulang rusuknyasaling masuk bersilangan , sedang siksa di akherat yang lebih dahsyat telah menanti.

Tak hanya itu. Kebutaan maknawi mereka di dunia berlanjut hingga di akherat. Kelak mereka benar-benar buta dalam arti tak bisa melihat dengan mata. Mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta, sebagai hukuman nyata atas sikapnya. Tatkala mereka memprotes kebutaan itu, Allah bantah dengan sikap mereka yang membutakan mata hatinya terhadap ayat-ayat-Nya ketika di dunia. Allah pun melupakan mereka sebagai balasan atas sikap mereka melupakan peringatan Allah dan pedoman-Nya.

Naudzubillah min dzalik.

ar-risalah

~**~ Hati , Kekuatan Inti ~**~






Kekuatan adalah kemampuan untuk menggapai sesuatu yang dituju, menepis segala hal yang membahayakan, juga mengalahkan musuh yang menghalangi tujuan. Kekuatan tidak identik dengan tubuh yang tinggi besar, gagah atau berotot. Meski pada kasus tertentu, kondisi itu semakin menambah kesempurnaan kekuatan seseorang. Namun inti kekuatan seorang mukmin ada di hatinya. Selain berupa
iradah (kemauan) untuk berusaha, juga kesempurnaan tawakalnya kepada Allah.

Pasrah adalah Kekuatan, bukan Kelemahan

Secara bahasa, tawakal berarti bersandar dan pasrah. Secara istilah, tawakal bermakna keseriusan hati dalam bersandar kepada Allah Azza wa Jalla, baik dalam mendatangkan kemaslahatan maupun menolak kemadharatan, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Demikian definisi tawakal menurut Ibnu Rajab al-Hanbali.

Kepasrahan seseorang kepada Allah bukanlah indikasi kelemahan, atau wujud keputusasaan. Tidak pula bertentangan dengan sifat optimis atau percaya diri. Bahkan di sinilah letak kekuatan dan kunci percaya diri. Ketika seseorang ingin meraih tujuan yang agung, atau cita-cita yang besar, dia tidak terbebani oleh minimnya pengetahuan, atau kecilnya kekuatan dibanding dengan besarnya harapan. Karena ada Allah yang diharapkan. Yang bisa berkehendak apa saja, berkuasa atas segala gala, dan tak ada yang mustahil bagi-Nya, jika Dia menghendaki. Maka orang yang paling besar tawakalnya kepada Allah adalah orang yang paling optimis dalam menggapai harapan dan paling kuat untuk berjuang meraih tujuan.

Karena itulah, Allah menyertakan hasungan tawakal bagi yang ingin meraih segala tujuan yang besar nan mulia, dalam urusan duniawi apalagi ukhrawi.

Tawakal dalam Hal Ukhrawi

Dalam hal merealisasikan ibadah, Allah perintahkan,

maka sembahlah Dia (beribadahlah kepada-Nya), dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 11:123)

Setelah perintah beribadah kepada-Nya, Allah menghasung kita untuk bertawakal. Karena ibadah adalah tugas yang paling agung. Butuh kekuatan besar untuk mampu menjalani segala sisinya. Banyak aral yang harus diterjang, banyak gangguan yang harus disingkirkan, dan butuh kekuatan super untuk mampu bertahan dalam bingkai yang telah digariskan. Karenanya, tawakal mutlak diperlukan untuk membekali diri dalam beribadah.

Di medan dakwah, tawakal adalah sumber energi yang dengannya para da’i tegar atas segala kemungkinan yang terjadi. Apakah berupa penolakan, permusuhan maupun jebakan yang menggelincirkan. Dengan tawakalnya hati kepada Allah pula, kekuatan lisan juru dakwah mampu menembus hati obyek yang dituju. Seperti yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “innama minal qalbi yasiiru ilal qalbi”, yang bersumber dari hati akan bermuara di hati pula. Retorika, penguasaan tema, maupun keahlian memilih kata, meski diperlukan dan harus diupayakan, seringkali efeknya tak begitu membekas di hati pendengar. Kecuali jika dilandasi kuatnya pengharapan dan kepasrahannya kepada Allah, agar berkenan menyinarkan hidayah kepada mereka. Allah memerintahkan Nabi saw sekaligus juga para da’i yang mengikuti jejaknya agar menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah,

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :”Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah yang haq selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. 9:129)

Medan jihad, lebih nyata lagi kebutuhannya akan tawakal. Membekali hati dengan tawakal saat berperang tidak kalah pentingya dari mempersenjatai diri dengan perlengkapan perang yang mematikan. Jika dua kubu berhadapan, maka yang berbicara bukan semata cacahnya pasukan, perimbangan persenjataan, atau kepiawaian dalam mengatur siasat perang. Namun kekuatan hati, kokohnya keyakinan, ketegaran menghadapi serangan lawan dan kuatnya pengharapan kepada Allah adalah senjata yang layak andalkan. Allah berfirman,

“Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imran 122)

Wajar, jika Qutaibah bin Muslim, seorang Panglima Perang Islam pernah menyifati Muhammad bin Waasi’ dengan kalimatnya, “Sungguh, doa Muhammad bin Waasi’ lebih aku sukai dari seribu bilah pedang yang dipanggul oleh seribu jawara pilihan.” Pernyataan ini keluar seiring dengan bukti-bukti yang pernah beliau saksikan setiap kali berjihad bersama Muhammad bin Waasi’ rahimahullah.

Tawakal untuk Kemaslahatan Duniawi

Sebagaimana kemaslahatan akhirat, untuk memperoleh kemanfaatan duniawi, tawakal juga mutlak diperlukan. Karena kebutuhan itu pasti, sedangkan Allah semata yang kuasa untuk mencukupi. Firman Allah,

”Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”(QS ath-Thalaq 3)

Nabi juga memberikan garansi dan jaminan,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rejeki sebagaimana burung diberi rejeki, di pagi hari ia keluar dalam keadaan lapar dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR Tirmidzi, hasan shahih)

Yang perlu digarisbawahi, bahwa tawakal tidak menghilangkan unsur ikhtiar sama sekali. Bahkan ikhtiar adalah satu unsur atau fase dari tawakal itu sendiri. Bukankah Allah dan Rasul-Nya juga telah membimbing usaha fisik yang menjadi sebab kuatnya ibadah? Bukankah syariat juga mengajarkan cara bijak dan retorika yang baik dalam berdakwah? Bukankah hukumnya wajib untuk i’dad, menyiapkan kekuatan fisik bagi orang-orang yang hendak berjihad fi sabilillah? Begitupun dengan burung yang lapar di pagi hari, bukankah ia keluar untuk mencari makan dengan tetap membawa tawakalnya kepada Allah?

Karena itulah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan tambahan definisi tawakal dari yang disampaikan oleh Ibnu Rajab, “…dan dengan disertai menjalankan sebab yang telah Allah perintahkan.”

Maka jangan takut bercita-cita, jangan merasa lemah untuk berusaha, dan pasrahkan hasilnya kepada Allah semata.

Wallahu a’lam.

(Abu Umar Abdillah) ar-risalah

~**~ Ketika Pinjaman Diambil yang Punya ( ILAHI RABBI ) ~**~






Al-Qasim bin Muhammad berkata,"Ketika istriku meninggal dunia,Muhammad bin Ka'ab al-Qarazhi mendatangiku untuk bertakziah atas kematiannya. Beliau bercerita,

"Pada zaman Bani Israil, ada seorang yang faqih,alim,ahli ibdah dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia cintai. Ketika istrinya meninggal,dia sangat terpukul. Dia mengunci diri di dalam rumahnya, dan tidak ada seorangpun yang berani menemuinya.

Berita itu diketahui oleh seorang wanita dari kalangan Bani Israil. Wanita itu mendatangi rumahnya seraya berkata,"Aku punya keperluan untuk meminta fatwa kepadanya berkenaan tentang istrinya.Jika dia mengijinkanku,aku akan berbicara langsung kepada beliau. Penjaga pintu memberitahukan kepada orang alim itu. Ia pun mengijinkannya.

Wanita itu berkata,"Aku ingin meminta fatwa kepada Anda tentang satu perkara." Dia bertanya, "Tentang masalah apa?" Wanita itu berkata,"Aku telah memnijam perhiasan milik tetanggaku,lalu kau memakainya dalam waktu yang cukup lama.Kemudian tetanggaku mengirim utusan kepadaku untuk meminta kembali perhiasan itu,apakah aku harus mengembalikannya?" Dia menjawab,"Ya,tentu saja." Wanita itu berkata,"Tapi,sudah cukup lama aku memakai perhiasan itu?" Dia menjawab,"(meskipun begitu) Tetanggamu lebih berhak atas perhiasan yang kamu pinjam itu."

Mendengar jawaban tersebut,Wanita itu berkata,"Semoga Allah merahmati Anda,apakah Anda bersedih hati atas apa yang dipinjamkan Allah kepada Anda,kemudian Dia mengambilnya kembali dari Anda,padahal Dia lebih berhak daripada Anda." Maka diapun tersadar dan dapat mengambil manfaat dari ucapan wanita itu."
---
"Semua yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah,kita harus ikhlas apabila mengambil apa yang dititipkan kepada kita kapan saja waktunya."

ar-risalah

Senin, 05 Desember 2011

~**~ Ciri-ciri Pemilik Husnuzhan Billah ~**~









Sulit mendefinisikan
husnuzhan billahsecara pasti. Beberapa ulama hanya menyebutkan maksudnya secara parsial. Ibnul Qayim menyebutkan, “husnuzhan billahhuwa husnul ‘amal”, prasangka baik kepada Allah adalah amal yang baik.” Yang lain menyebutkan, al fa’lu atau optimisme adalah bagian dari husnuzhan billah. Secara umum husnuzhan billahadalah berprasangka dan berharap kebaikan dari Allah berupa; pertolongan, ampunan dengan keyakinan yang utuh.

Ada kemiripan antara husnuzhan billah(berprasangka baik pada Allah)dengan tawakal(bergantung kepada Allah), ats tsiqah billah (yakin kepada Allah) dan raja’(harapan), meski pada hakikatnya berbeda.Untuk membedakannya, barangkali kita bisa menggunakan beberapa contoh.

Seseorang yang diuji dengan penyakit, dan tetap ridha serta berharap kebaikan kepada Allah, perasaan itu adalah misal darihusnuzhan billah. Adapun yang telah mengikat kendaraanya lalu berserah diri kepada Allah mengenai apa yang bakal terjadi pada kendaraannya, itulah salah satu contoh tawakal. Sedang yang berhijrah dari tempat tinggalnya yang penuh kemaksiatan meski disana hidupnya sukses,dia yakinAllah pasti akan memberi ganti yang lebih baik, itulah contohats tsiqah billah. Yang terakhir arraja’atau harapan, bukan lain adalah bersit harapan dalam hati dalam makna umum,yang jugaterdapat pada ketiga hal di atas. Wallahua’lam.

Namun begitu, ketiga hal di atasmemiliki keterkaitan satu sama lain, bahkan sangat erat. Imam Ibnul Qayim al Jauziyah menjelaskan, husnuzhan billahdan ats tsiqatu billah sebenarnya adalah unsur yang juga menyusun tawakal. Ketawakalan seseorang tidak akan sempurna jika tidak memiliki prasangka yang baik dan keyakinan hati pada Allah. Khusus untuk husnuzhan billah, beliau bahkan menyebutkan, sejauh mana rasa husnuzhanmu kepada Allah, sejauh itu pula rasa tawakalmu kepada-Nya. (Terjemah Madarijus Salikin,194).

Ciri husnudzan billah

Mengingat husnuzhan billah memiliki peran penting dalam amal dan harapan seseorang, perlu kiranya kita mengetahui apa ciri-ciri hati yang memiliki prasangka baik kepada Allah. Dzun Nuun al Mishri mengatakan, ciri husnuzhan billah itu ada tiga; quwatul qalbi, fushatur raja ‘indaz zillah dan nafyul iyas ma’a husnul inabah.(Hilyatul Auliya’;:4/216)

Pertama, quwatul qalbi, kekuatan hati berupa keteguhan dan kemantapan dalam berharap kepada Allah. Orang yang berprasangka baik kepada Allah memiliki kemantapan hati karena ia memahami, disamping dahsyatnya siksa yang dijanjikan-Nya, rahmat Allah sangatlah luas. Dan sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya kasih sayang-Ku selalu mendahului murka-ku.” (Hr. Bukhari). Dengan ini hatinya tidak akan pernah ragu dalam usaha menggapai keluasan rahmat dan karunia Allah.

Kedua, fushatur raja ‘indaz zillah atau luasnya harapan ketika yang dituju tak dapat diraih. Harapan yang dimilikinya seluas samudra. Sebersit sinar panas dari rasa kecewa akibat satu harapan yang tak tercapai, tidak akan bisa membuatnya kering. Ombak harapan pun tetap bergelombang, senantiasa hidup dan wujud dalam hatinya.

Manakala hasil akhir yang ditemui tak seperti yang diharapkan berikut usaha yang telah dikeluarkan, prasangka baik kepada Allah akan tetap membasahi hatinya dengan asa. Pasti Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha dan harapan seorang hamba. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّاللَّهَحَيِىٌّكَرِيمٌيَسْتَحِىإِذَارَفَعَالرَّجُلُإِلَيْهِيَدَيْهِأَنْيَرُدَّهُمَاصِفْرًاخَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Mahamurah, Allah malu jika ada seorang hamba yang mengangkat tangan memohon pada-Nya, lalu tangan itu kembali tanpa membawa apa-apa.” (Hr. at Tirmidzi)

Ketiga,nafyul iyash ma’a husnil inabah. Nihilnya rasa putus asa diiringi kepasrahan dengan mengembalikan semuanya kepada Allah. Husnuzhan billahakan mengikis habis rasa kecewa dan putus asa, apalagi amarah dan buruk sangka terhadapkeputusan Allah. Tak hanya itu, ia pun menenangkan hati dengan menuntunnya menuju kepasrahan atas kehendak Yang Maha Sempurna. Lebih dari itu, sudut hatinya akan mencoba mengail pelajaran, “Lain kali,usaha harus lebih baik lagi” atau “Barangkali Allah menghendaki yang hasil lain yang lebih baik.”

Satu ciri penting yang lain

Selain tiga ciri di atas, Ibnul Qayim menambahkan satu hal yaitu husnul amal, usaha yang baik. Artinya prasangka kepada Allah juga harus diiringi dengan usaha yang baik pula. Bahkan beliau mengatakan, “husnuzhan billah huwa husnul ‘amal”, prasangka yang baik bukan lain adalah usaha yang baik itu sendiri. Manakala seseorang mengharap ampunan dan rahmat-Nya, dia juga harus berusaha melakukan berbagai hal yang balasannya adalah ampunan dan rahmat dari Allah.

Berharap ampunan dan kasih sayang Allah, tapi asyik memancing memancing murka-Nya dengan mempermainkan syariat dan bermaksiat bukanlah husnuzhan billah, tapi maghrurun birahmatillah, terpedaya pada rahmat Allah. Terpedaya dalam arti lupa bahwa disamping rahmatnya, ada juga siksa yang maha dahsyat bagi sesiapa yang menerjang larangan-Nya. Jadi, husnul amal adalah unsur yang tak boleh dilupakan dalam husnuzhan billah, karena inilah yang akan membedakannya dengan keterpedayan pada ampunan Allah.

Pada akhirnya, seseorang yang benar-benar berprasangka baik kepada Allah adalah orang yang memiliki keyakinan dalam harapan, keluasan hati atas segala keputusan, mampu menetralisir pahitnya kekecewaan dengan kepasrahan dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai harapan dengan cara yang benar.

Semoga Allah menjadikan hati kita senantiasa dapat berprasangka baik atas semua ketetapan yang allah berikan kepada kita. Amin.

wallahua'lam

(Taufik A) ar-risalah



~**~ Balasan untuk Sebuah Pengorbanan ~**~






“Man taraka syaian lillah, ‘awwadhahullah khairan minhu”
Sesiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Kalimat ini sangat masyhur dikalangan para ulama serta para penulis. Meski secara lafadz berasal dari hadits dhaif, tapi dari segi isi dinilai shahih karena memiliki syawahid (pendukung) dari hadits-hadits shahih. Diantaranya adalah hadits:

”Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” (HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)

Para ulama menjadikan kalimat diatas sebagai kaidah kehidupan. Tuntunan hidup agar manusia lebih bersemangat dan tidak perlu khawatir untuk meninggalkan sesuatu yang mubah apalagi yang haram demi mendapat ridha dari Allah. Sebab, Allah pasti akan memberikan ganti yang lebih baik.

Perlu kita dalami, apa maksud dari ”sesuatu” dan apa pula ganti yang baik tersebut. Doktor amin bin Abdullah asy Syaqawi menjelaskan dalam salah satu makalahnya, maksud dari meninggalkan ”sesuatu”, artinya bisa sesuatu yang mubah atau lebih dari itu yang haram. Yang mubah misalnya berbagai kemewahan dunia, seperti yang dilakukan oleh salah seorang ahli ibadah di Kufah. Suatu ketika Fudhail bin Iyadh dan Ibnul Mubarak menengok sang ahli ibadah yang telah lama menyapih dirinya dari kemewahan dunia ini, tentunya bukan karena aslinya miskin. Ibnul Mubarak mengatakan, ”Wahai saudaraku, kami mendengar bahwa tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu karena mencari ridha Allah, melainkan Allah akan memberinya ganti dengan yang lebih baik, lalu apa ganti dari Allah untukmu?” ia menjawab, ”Keridhaanku pada kondisiku sekarang.” Ibnul Mubarak berkata, ”Itu cukup bagimu.” (Shifatushafwah, 3/185).

Adapun meninggalkan yang haram, ada banyak contoh dalam hal ini. Yang dimaksud adalah meninggalkan yang haram dikala memiliki kesempatan melakukannya. Contoh paling masyhur adalah kisah nabi Yusuf yang meninggalkan ajakan isteri raja untuk berzina lalu memilih masuk penjara. Kemudian Allah memberikan ganti berupa kekuasaan yang luas dan keamanaan dari fitnah. Ada juga beberapa kisah lain yang mirip dari segi plot cerita. Intinya menolak zina lalu dikarunia Allah sesuatu yang jauh lebih baik.

Seperti kisah seorang pedagang yang pada zaman perang salib, yang disebutkan dalam kitab Mausu’ah al Khitab wa Durus, Syaikh Ali bin Nayif asy Syahud. Pedagang ini tinggal di suatu negeri di Eropa dimana antara pasukan Islam dengan tentara salib setempat terjadi perjanjian damai. Suatu ketika ia kedatangan pengunjung seorang wanita eropa yang sangat cantik. Kecantikannya membius dirinya dan membuatnya memberi diskon besar untuk si wanita. Wanita itupun keranjingan beli di tokonya. Karena tak tahan, akhirnya pemilik toko menyampaikan maksud hatinya untuk bisa bersua dengan si wanita pada pembantunya. Pembantunya mengatakan, ia harus menyerahkan uang 50 dinar. Malam harinya keduanya bertemu, tapi pada saat itu, si pedagang ingat kepada Allah dan urung melakukan apa yang memang seharusnya tidak ia lakukan. Si wanita pun marah dan pergi.

Beberapa hari kemudian, si wanita datang lagi, rasa sesal menyeruak di hati pedagang, mengapa kemarin ia sia-siakan pertemuannya? Ia pun menyampaikan keinginannya pada pembantu, setelah menyerahkan uang yang lebih banyak dari kemarin, kejadian seperti kemarin terulang kembali. Dan saat bertemu dengan sang wanita, si pedagang kembali menyesal. Demikian hingga beberapa kali.

Kali yang terakhir, si wanita meminta uang yang hanya bisa dipenuhi jika si pedagang menjual tokonya. Benar, toko pun dijual. Tapi belum sempat keduanya bertemu, pasukan islam mengumumkan perjanjian damai berakhir. Semua orang muslim harus hijrah ke negeri lain. Si pedagang pun pindah dengan membawa kerugian. Di tempat hijrahnya ia kembali berdagang dan melupakan masa lalunya.

Suatu ketika, pasukan Islam dikabarkan telah merebut kota yang dulu ditempati pedagang. Saat rombongan pasukan lewat, pemimpin pasukan melihat budak milik si pedagang dan ingin membelinya. Hanya saja, pada saat itu si panglima hanya memiliki uang cash 90 dinar, padahal harga budak itu 100 dinar. Sang panglima mengatakan, kekurangannya si pedagang boleh mengambil budak hasil tawanan perang. Si pedagang pun masuk ke sebuah tenda tempat pasukan mengumpulkan budak. Tak dinyana, ternyata si wanita Eropa itu ada didalamnya. Pedagang itu mengatakan, ”Kini, untuk mendapatkanmu aku hanya perlu membayar 10 dinar.” Lalu wanita itupun dinikahi.

Adapun ganti yang lebih baik, bisa berupa sesautu yang persis seperti apa yang ditinggalkan, atau yang lebih baik lagi. Dapat pula berupa sesuatu yang bersifat maknawi dan bukan materi, di dunia dan akhirat. Ibnul Qayim menjelaskan dalam kitab al Fawaid, ganti itu bisa berbagai macam, tapi yang paling istimewa adalah kecintaan kepada Allah, ketenangan hati, kekuatan jiwa, semangat, rasa gembira dan keridhoan pada Allah Ta’ala.(Juz I/107).

Seperti orang yang meninggalkan kemaksiatan berupa memandang yang haram, Allah akan menggantinya dengan balasan yang sangat luar biasa berupa pandangan hati (bashirah) dan firasat yang terang benderang. Di dalam kitab al Jawabul Kaafi, Ibnul Qayim menjelaskan, orang yang menjaga pandangannya dari yang haram, Allah akan membukakan baginya mata hatinya, pintu ilmu dan juga firasat yang tepat. (I/126)

Atau seperti ganti bagi yang meninggalkan debat kusir. Kelak di jannah ia akan diberi rumah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

”Barangsiapa yang meninggalkan debat kusir sedang dia salah, akan dibangun untuknya rumah di teras jannah, dan barangsiapa meninggalkannya meski dia benar, akan dibangunkan rumah di tengah jannah.(HR. At Tirmidzi, Imam Albani menilai ”hasan”,Shahih Targhib wa Tarhib I/32).

Selanjutnya, syarat untuk mendapatkan semua itu adalah ”lillah”, yaitu demi mendapatkan ridha Allah. Tanpanya, ganti yang lebih baik tidak akan pernah bisa didapatkan.

Begitulah, kaidah di atas telah dibuktikan oleh orang sebelum kita. Memang, yang haram itu enak kelihatannya dan nikmat saat dirasa. Tapi akibat buruknya tidak akan sebanding dari secuil kenikmatannya. Sedang meninggalkannya sangatlah berat dan pahit, tapi gantinya akan mampu membuat kita lupa terhadap kenikmatan yang ditawarkan. Ya, Allah mudahkanlah hati kami untuk meninggalkan apa yang engkau larang, berilah kekuatan hati dan berilah kami ganti yang lebih baik. Amin.

Wallahua’lam.

(anwar) ar-risalah

~**~ HIDUP ADALAH UJIAN ~**~





1. Hidup di dunia ini adalah ujian


"Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya , dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".

(Huud (11): 7)



"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya". (Al-Kahfi (18): 7)



"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (Al-Mulk (67): 2)



"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur(1536) yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir". ( Al-Insaan (76): 2-3)



2. Bentuk Ujian


"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". (Al-Baqarah (2): 155)


"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan". (Al-Anbiyaa (21): 35)


"Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab : "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni'mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (An-Naml (27): 40)


"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar". (Al-Anfaal (8): 28)


"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar". (At-Taghaabun (64): 15)


"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan". (Al-Kahfi (18): 46)


"Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar". (Al-Hujuraat (49): 3)



3. Makna Ujian


"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu". (Muhammad (47): 31)


"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". "(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (Al-Baqarah (2): 155-156)


Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (Az-Zumar (39): 10)


"Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera". (Al-Insaan (76): 12)


"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min , laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar". (Al-Ahzab (33): 35)


"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?". (Al-'Ankabuut (29): 2)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka mereka akan mendapatkan keridhoan Allah. Dan siapa yang murka, maka akan mendapatkan murka Allah.” (Hadits Hasan Riwayat At Tirmidzi)


Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Cobaan senantiasa akan menerpa orang yang beriman baik lelaki maupun perempuan, baik pada dirinya, anaknya, dan begitu pula pada hartanya, sampai ia bertemu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada satu pun dosa yang ia miliki.” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim dan Ahmad).


”Apabila Allah mencintai seorang hamba maka dia mengujinya , agar Allah mendengar permohonannya (kerendahan dirinya).” (HR. Al-Baihaqi)



4. Cara Menghadapi Ujian


Mengambalikan musibah atau ujian kepada Allah , lalu meminta pahala kepada_Nya , serta meminta ganti yang lebih baik daripada itu dengan mengatakan sebagaimana yang diajarkan Rasulullah .


Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba tertimpa musibah lalu mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, ya Allah berilah aku pahala dari musibahku ini dan berilah untukku ganti yang lebih baik darinya, melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikannya pahala pada musibahnya tersebut dan memberikan ganti untuknya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim).


“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”

(Shahih, riwayat Muslim)


Berprasangka baiklah kepada Allah sebagaimana Allah berfirman dalam hadist qudsi dari sahabat Abu Hurairah , Rasulullah bersabda :

”Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR Bukhari)


"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (Al-Baqarah (2): 216)


Agar tentram , lihat orang yang lebih rendah , bukan yang diatas kita dalam ni'mat seperti dalam hadist Abu Hurairah , Rasulullah bersabda :

" Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan jangan melihat kepada yang diatasmu , karena dengan cara ini lebih layak membuat kamu tidak kufur terhadap nikmat Allah".


wallahua'lam



'Sang Murabbi



Selasa, 29 November 2011

~**~ Karena Aku Hanyalah Seorang Hamba ~**~



Ketika seseorang menyerahkan diri kepada Allah, saat itulah dengan sadarnya dia melepaskan apapun kepentingan dan ego dirinya, seraya menyeru dalam hati dan jasadnya bahwa dia adalah telah menjadi seorang hamba.

Selanjutnya, pikiran dan hidupnya akan termotivasi tentang apa yang di ridhoi Allah atau tidak, dan sama sekali bukan tentang seleranya. Ketika diri mengakui bahwa, aku hanyalah seorang hamba, maka tidak akan ada kritik dan pencelaan pada Robbnya melainkan hanya keikhlasan hati terhadap sebuah pengabdian, kepasrahan hati tentang sebuah takdir, dan prasangka baik kepada sang pembuat skenario hidupnya.

Seorang hamba adalah milik tuannya, maka hatinya pun tidak melawan ketika sang pemiilik mengajukan garis takdir kepadanya. Seorang hamba kemudian akan senantiasa melanjutkan hidup dengan tetap mengabdi demi keridhoan pemiliknya, karena memang sudah selayaknya seperti itulah kewajibannya.

Tiada yang lebih nikmat ketika menjadi seorang hamba, selain terbebasnya kita dari rasa lebih, yang berkarib dengan sombong dan atau rasa kurang yang selalu merongrong dan menyiksa diri, karena kepercayaan kita atas perawatan dan pemenuhan dari sang pemilik kita.

Mengakui sebagai seorang hamba akan meneduhkan hati, karena batin senantiasa merasa tenang akibat seluruh kebutuhan terasa ada yang menjamin dan tercukupi.

Mengikhlaskan hati menjadi hamba adalah sumber kedamaian jiwa. Darinya kita belajar untuk selalu rendah hati dan penyayang. Karena seorang hamba adalah pengikut dan pencontoh sejati tuannya. Karena seorang hamba tidak akan mungkin mempunyai pikiran gila untuk menyombongkan diri dengan sesuatu yang ada padanya, yang jelas-jelas adalah semua itu hanyalah milik tuannya.

Ketika kita menghamba, maka luluhlah sebuah penguasaan atas diri dan menyerahkannya kepada sang pemilik kita. Ketika kita menghamba, maka tak penting lagi pujian amal baik kita yang setinggi gunung, karena hati mengajarkan bahwa semua hanyalah karena rahmat sang pemilik kita.

Dalam penghambaan, jiwa seorang hamba yang ikhlas menjadi hamba akan selalu berteriak dan merasa kurang dalam kesyukuran kepada Robb-Nya. Karena itulah, dalam kelihatan atau tidaknya dari pandangan manusia, jiwanya akan selalu terisi hanya dengan Allah berikut daftar rahmat- rahmatnya.

Wahai hamba yang dikasihi Allah,
Sungguh mulia dirimu dalam kesanggupanmu menyerah dan mendidik batin dan jiwamu, untuk menjadi hamba yang berserah. Tiada lagi keluh kesah, karena damai akan selalu melingkupi batinmu. Tiada protes apalagi episode mencaci maki jalan takdirmu, karena sesungguhnya kita adalah seorang hamba. Tiada hamba yang baik selain selalu penuh terimakasih dan kesyukuran kepada pemilik kita, yang maha penyayang kepada diri hamba- hambanya, Allah Subhanahu Wata'ala.

(Syahidah/Voa-islam.com)

~**~ Rasulullah telah mengajarkan bagaimana cara mengendalikan marah ~**~




Rasulullah telah mengajarkan bagaimana cara mengendalikan marah :
1. Membaca ta'awwudz . Rasulullah bersabda , “ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang , yaitu a'uudzubillah mina-syaithaanir-rajiim .”(HR.Bukhari Muslim)
2. Berwudhu. “kemarahan itu dari syetan,sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudhulah.”(HR.Abu Dawud)
3. Duduk. “kalau kalian marah duduklah, kalau tidak hilang juga maka berbaringlah.”(HR.Abu Dawud)
4. Diam. “ajarilah (org lain), mudahkanlah , jangan mempersulit masalah , kalau kalian marah maka diamlah .”(HR.Ahmad)
5. Bersujud , artinya shalat sunnah minimal 2 rakaat. “ketahuilah , sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia . Tidaklah engkau melihat merahnya k2 matanya dan tegangnya urat darah di lehernya?maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud).”(HR.Tirmidzi)


~**~ 7 Karakter Pemuda Islam ~**~




MUSTAFA AL-RAFI’IE menggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa pemuda adalah kekuatan, sebab matahari tidak dapat bersinar di senja hari seterang ketika di waktu pagi. Pada masa muda ada saat ketika mati dianggap sebagai tidur, dan pohon pun berbuah ketika masih muda dan sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apa pun kecuali kayu. (Ashur Ahams;1978).

Karakter Pemuda Islam:

1. Salimul Aqidah (akidah yang lurus)

2. Shahihul ibadah (ibadah yang benar)

3. Matinul Khuluq (akhlak mulia)

4. Qadirun al-Kasbi (berpenghasilan/mandiri)

5. Mutsaqaful Fikri (berwawasan luas)

6. Qawiyyul Jismi (fisik kuat dan sehat)

7. Mujahidun Linnafsih (jiwa yang selalu bersemangat)

8. Munadzam fi Syuunih (sistematis)

9. Harishun 'ala Waqt (menjaga waktu)

10. Nafi'un Lighairih (berguna untuk orang lain).

~**~ Sepuluh Pemberi Syafa'at di Hari Kiamat ~**~



Allah berfirman :


" Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridai perkataannya. " (QS.Thaha : 109 )


Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. ( QS. Az-Zumar : 44


" Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. " (QS. al Anbiya' :28 )



1. ALLAH AZZA WA JALLA


Rasulullah S'AW bersabda: "Hingga akhirnya Al-Jabbar berfirman 'Yang tersisa tinggal syafa'at-Ku'. Selanjutnya Allah Menggenggam dari neraka satu genggaman untuk mengeluarkan kaum-kaum yang benar-benar telah hangus. Mereka diletakkan di sungai bernama air kehidupan yang berada di mulut-mulut surga. Selanjutnya mereka tumbuh di dua pinggirannya bagaikan biji-bijian yang tumbuh di dalam bawaan banjir. Kalian pasti pernah menyaksikan hal tersebut di sisi batu besar di sisi sebuah pohon. Yang condong ke arah matahari menjadi hijau; sementara yang condong ke arah teduh memutih. Akhirnya mereka keluar dari kawasan tersebut dalam keadaan indah mirip sekali mutiara. Ada cap-cap yang dicap-kan di pundak-pundak mereka. Akhirnya mereka masuk surga." (HR. Bukhari, 7439).


Keterangan : di dalam hadits lengkapnya, syafaat dari Allah ini diberikan terakhir, setelah sebelumnya para Nabi, orang mukminin, dan lainnya memberi syafaat.



2. RASULULLAH MUHAMMAD


Syafaat Rasulullah adalah asy syafaah al Kubra, syafaat agung yang maslahatnya meliputi seluruh umat beliau.


Syafaat ini khusus diberikan kepada Nabi Muhammad . Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yang tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orang-orang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bisa memberikan syafaat hingga mereka datang kepada Nabi , lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk Maqam Mahmud yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya: "Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (Al-Israa':79). hal ini sebagaimana dipaparkan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari.


Di antara syafaat beliau adalah: meninggikan derajat orang yang sudah masuk surga, memberikan syafaat bagi yang akan masuk surga agar segera masuk surga, syafaat bagi yang divonis masuk neraka agar tidak masuk neraka, dan syafaat bagi yang masuk neraka agar segera dientaskan darinya.



3. PARA NABI 'ALAIHIS SALAM DAN MALAIKAT


Dari Abu Said al Khudri R'A, Rasulullah bersabda, "...lalu para nabi memberi syafaat, dan juga para malaikat..." (HR. Bukhari).



4. NABI IBRAHIM 'ALAIHIS SALAM


Dari Hudzaifah, Nabi bersabda:


"Ibrahim berkata pada hari Kiamat, "Wahai Rabbku." Dan Allah pun berfirman, "Ada apakah?" Ibrahim berkata, "Duhai Rabbku, aku telah membuat keturunanku terbakar," lalu Allah berfirman, "Keluarkan dari neraka sesiapa yang kau dapati masih memiliki iman meski sebesar debu atau biji gandum." (HR. Ibnu Hibban, Syuaib al Arnauth menyatakan isnadnya shahih).



5. ASH SHIDDIQIN


'kemudian dikatakan, "panggillah orang-orang ash shiddiqin, lalu mereka pun diberi izin memberi syafaat..." (HR. Bukhari)


Keterangan : maksud ash shiddiqin, Imam Muqatil bin Hayyan berkata, "ash shiddiqun adalah orang-orang yang beriman kepada para Rasul dan tidak mendustakan mereka barang sedikitpun. (Tafsir al Qurthubi: 17/253)



6. ASY SYUHADA'


Dari Miqdam bin ma'di karib, Rasulullah bersabda:

"Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun'in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya." (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ahmad dengan sanad yang shahih).



7. MUKMININ


Rasulullah bersabda :

"... dan apabila mereka - orang2 mukmin melihat bahwa diri mereka telah selamat , mereka berkata tentang saudara2 mereka . " wahai Rabb kami , tolonglah saudara2 kami , mereka dulu shalat , shiyam , dan berbuat kebaikan bersama kami . " lalu Allah berfirman , " Masuklah ke neraka , sesiapa yang kalian dapati memiliki iman sebesar dinar , maka keluarkanlah ia . " Lalu Allah membuat mereka tidak dapat tersentuh api , dan mereka pun mendatangi saudara2 mereka di neraka . sebagian mereka ada yang tubuhnya masuk neraka sampai kaki , ada juga yang sampai betis . merekapun mengeluarkan orang2 yang mereka kenal , lalu keluar . Allah berfirman lagi , " masuklah , sesiapa yang kalian dapati memiliki iman sebesar setengah dinar , maka keluarkanlah ia . " merekapun mengeluarkan orang2 yang mereka kenal , lalu kembali Allah berfirman , " masuklah , sesiapa yang kalian dapati memiliki iman sebesar debu , maka keluarkanlah ia . " dan mereka pun mengeluarkan orang2 yang mereka kenal . " ( HR. Bukhari )



8. ANAK KECIL YANG MENINGGAL SEBELUM BALIGH


" Anak2 kecil mereka berada di Jannah , salah seorang dari mereka berjumpa dengan bapaknya atau kedua orang tuanya , lalu meraih ujung bajunya , atau beliau mengatakan : dengan tangannya sebagaimana aku memegang ujung bajumu ini , dia tidak akan berpisah dengan bapaknya sehingga Allah memasukkan dia dan bapaknya ke dalam surga . " ( HR. Muslim )



9. SYAFAAT SHIYAM (PUASA)


" Dari Abdullah bin Amr , sesungguhnya Nabi , bersabda :

" Puasa dan Al-Qur'an akan menolong seorang hamba pada hari kiamat . Puasa itu berkata : " ya Rabbi , Engkau telah melarang makanan dan syahwat pada siang hari , maka izinkan saya menolongnya . Dan Al-Qur'an berkata : " ya Rabbi , Engkau telah melarang tidur pada malam hari , maka izinkan saya menolongnya . " ( HR. Imanm Ahmad )



10. MEMBACA AL QU'RAN


" Bacalah Al-Qur'an karena Al-Qur'an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai Syafi' ( pemberi syafa'at ) bagi yang membacanya . Bacalah Az Zahrowain ( dua surat Cahaya ) yaitu surat Al Baqarah dan Ali Imran karena keduanya datang pada hari kiamat nanti seperti " dua awan " atau seperti " dua cahaya sinar matahari " atau seperti " dua ekor burung yang membentangkan sayapnya " ( bersambung satu dengan yang lainnya ) , keduanya akan menjadi pembela bagi yang rajin membaca dua surat tersebut . " Bacalah surat Al Baqarah . Mengambil surat Al Baqarah adalah suatu keberkahan dan meninggalkannya akan mendapat penyesalan . Para tukang sihir tidak mungkin menghafalnya . " ( HR. Muslim )


" Taufik Anwar " ar -risalah

Rabu, 23 November 2011

~**~ Muslimah dalam Keterasingan ~**~



Islam datang mencerahkan dunia, meningkatkan martabat wanita pada tempat yang mulia dan memberikan kedudukan yang tinggi yang sebelumnya jauh dan jatuh diletakkan di dasar lembah yang gelap gulita, sejak kecil keberadaannya di hinakan bahkan sebagian diantara mereka di kubur hidup-hidup, Allah SWT mengabadikan sejarah ini dengan firmanNya

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,

Karena dosa apakah dia dibunuh (QS. At Takwir : 9-10)

Beranjak dewasa hanya menjadi pemuas syahwat laki-laki durjana, sebagaimana yang diceritakan wanita mulia, ibunda kita ‘Aisyah Radhiallhu’anhaa dalam sunan Abi Daud tentang wanita yang menikah/melacurkan dirinya dengan memasang bendera khusus di depan pintu sebagai tanda.Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat dan sedikit dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.Wanita diperjualbelikan secara semena-mena, kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati dan akhirnya ketika tua, tidak ada baginya doa apalagi bakti dari anak-anaknya.

Alhamdulillah Islam datang mengangkatnya, menjadikannya mulia sejak kecil, dewasa hingga masa tuanya.Tidak terdengar lagi ada bayi wanita yang dibunuh, kehormatannya terjaga dengan balutan baju yang menutupi aurotnya, diberikan hak untuk berpendapat dalam pernikahanya, bahkan diutamakan tiga kali melebihi kaum pria dalam keluarga.Dan sesudah tutup usia didoakan putra-putranya agar mendapat ampunan dari Rabnya. Itulah zaman keemasan Islam, yang setiap muslimah dan mukminah kala itu dapat merasakan perbedaannya, setelah merasa asing dan terasing dari kaumnya.

Zaman begitu cepat bergulir, keadaan pun tidak selalu sama.Keadaan kaum muslimin menjadi lemah -dan Allah lah yang Maha Mengetahui keadaan hambaNya- ini disebabkan jauhnya mereka dari asal kemulian, ketinggian dan kekuatan mereka. Dikoyaklah kesucian mereka oleh umat yang lain, dirampas kehormatan dan hartanya, lebih dari itu musuh Islam mampu membuat kebanyakan muslimah melepaskan mahkota malu dari dirinya, bahkan melepaskan dari agamanya secara keseluruhan, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Pada hari ini lebih jelas gambaran keterasingan yang di landa kaum muslimah, ketika muslimah memandang masyarakat sekelilingnya ia dapati seolah-olah ia berada di suatu tempat yang sangat asing, bahkan masyarakat memandang ia datang dari planet lain.

Ditengah-tengah keluarganya pun ia merasa asing, dengan balutan jilbab yang syar’i bapak ibunya tidak berkenan, untuk thalabul ‘ilmi(pergi kajian) dilarangnya, bahkan bertemu dengan teman-temannya yang shalihah pun diawasi. Padahal semuanya dilakukan untuk mendapat ridha Ilahi.

Di rumah suaminya ia merasakan keterasingan diatas keterasingan, tertipu ketika berta’aruf, disangkanya pemuda yang benar-benar meniti jalan kebenaran pada awalnya, namun setelah mengarungi bahtera, terbalik hatinya kemudian meminta istrinya yang mencoba menjadi wanita surga untuk membalik hatinya juga dan melepas hijabnya bahkan menekan dan mengancamnya wa laa haula wa laa quwwata illa billah.

Inilah zaman ghurbah(keterasingan) yang kedua, sebagaimana telah diberitakan oleh kekasih Allah Muhammad shollallahu’alaihi wasallam :

بَدَأَالإِسْلاَمُغَرِيباًثُمَّيَعُودُغَرِيباًكَمَابَدَأَفَطُوبَىلِلْغُرَبَاءِ». قِيلَيَارَسُولَاللَّهِوَمَنِالْغُرَبَاءُقَالَ«الَّذِينَيُصْلِحُونَإِذَافَسَدَالنَّاسُ

“Islam datang dalam keadaan asing lalu akan kembali asing sebagaimana bermula, maka beruntunglah orang yang asing”. Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang tetap shalihsaat manusia telah rusak.”(HR. Ahmad).

Dalam riwayat yang lain :

أُناَسٌصَالِحُوْنَفِيأُنَاسٍسُوْءٍكَثِيْرٍ،مَنْيَعْصِيْهِمْأَكْثَرُمِمَّنْيُطِيْعُهُمْ

“Orang-orang shalih yang berada di tengah-tengah orang-orang jahat yang banyak, yang mengingkari mereka jumlahnya lebih banyak daripada yang menta’ati mereka.”(HR. Ahmad)

Itulah sifat orang asing yang beruntung, mereka adalah generasi shalih dan menjadikan yang lain ikut shalih, tidak banyak yang mengikuti bahkan yang banyak adalah yang memusuhi, namunmereka selalu bergerak berdakwah kepada manusia mengajak kepada agama yang mulia ini.

Ketahuilah saudariku muslimah, bahwa dunia dan segala perhiasannya akan cepat sirna, kita kan ditanya dihapan Rabbuna segala perkara, baik yang kecil maupun yang besar, telah bersabda Nabi Kita :

لَاطَاعَةَلِمَخْلُوقٍفِيمَعْصِيَةِاللَّهِعَزَّوَجَلَّ

“Tidak ada ketaatan kepada mahkluq dalam bermaksiat kepada Allah ‘azza wajalla.”(HR. ahmad)

Ridha siapakah yang kita cari, manusiakah? sehingga kita rela meninggalkan ajaran agama hanya karena taat kepada mahluk yang berupa masyarakat, keluarga dan suami yang memaksa. Padahal telah diingatkan oleh Rasulullah SAW :

مَنْالْتَمَسَرِضَااللَّهِبِسَخَطِالنَّاسِكَفَاهُاللَّهُمُؤْنَةَالنَّاسِوَمَنْالْتَمَسَرِضَاالنَّاسِبِسَخَطِاللَّهِوَكَلَهُاللَّهُإِلَىالنَّاسِ

“Barangsiapa yang mencari keridhoan Allah sekalipun memperoleh kebencian manusia, Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia dan barangsiapa yang mencari keridhoan manusia dengan mendatangkan kemurkaan dari Allah, maka Allah akan menjadikannya bergantung kepada manusia”.(HR. At Tirmidzi ))

Jagalah keterasingan agamamu, genggamlah ia meski mungkin sepanas bara api rasanya. Janganlah engkau jual agama dan dirimu dengan dunia, ingatlah bahwa dunia adalah penjara bagi mukmin, dan surganya orang-orang kafir.

Allah Ta’ala berfirman :

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”.(QS. Ath Thalaq:2-4)

Ingatlah balasan bagi orang-orang yang asing dari generasi awal yang melihat beliau maupun genersi belakangan yang beriman dan tidak melihat beliau :

طُوبَىلِمَنْرَآنِيوَآمَنَبِيثُمَّطُوبَىثُمَّطُوبَىثُمَّطُوبَىلِمَنْآمَنَبِيوَلَمْيَرَنِيقَالَلَهُرَجُلٌوَمَاطُوبَىقَالَشَجَرَةٌفِيالْجَنَّةِ

“Beruntunglah orang yang melihat dan beriman kepadaku, kemudian beruntunglah, beruntunglah dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku dan dia belum pernah melihatku.” Laki-laki tersebut berkata; “Apakah keberuntungan orang tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sebuah pohon di surga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Semoga Allah selalu meberikan kesabaran dalam menjalankan keta’atan dan kesabaran dalam menghadapi ujian dan tekanan, dan mamasukkan kita kedalam generasi asing yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Amin.


(Taufiq el Hakim, Lc.) ar-risalah

~**~ Membangun Rumah di Jannah ~**~



Menteri Agama Suryadharma Ali pernah melansir sebuah data bahwa pertambahan masjid di Indonesia lebih rendah prosentasenya jika dibanding dengan pertambahan gereja. Sejak tahun 1977 sampai 2004 penambahan Masjid dari 392.044 menjadi 643.834 buah, jadi kenaikannya hanya 64,22 persen. Sementara pertambahan Gereja Kristen, dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah atau naik 131,38 persen. Sehingga tidak berlebihan jika Hasyim Muzadi berkata bahwa Indonesia merupakan negara terbanyak gerejanya di Asia.

Ironis memang, penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim justru perkembangan tempat ibadahnya lambat. Sementara agama Kristen yang minoritas pertumbuhannya justru begitu pesat. Banyak faktor sebenarnya yang melatarbelakangi terjadinya hal ini, diantaranya adalah masalah dana. Sering kita saksikan pembangunan masjid yang akhirnya mandeg di tengah jalan karena tidak mendapatkan perhatian serius dari kaum muslimin. Pernah penulis didatangi dua orang yang mengaku sebagai panitia pendirian masjid yang mengeluhkan dana yang seret. Meski mereka sudah berusaha mencari dana dengan cara door to door (masuk dari rumah ke rumah) tapi tetap saja tidak mencukupi untuk menyelesaikan pembangunan masjid yang telah tertunda bertahun-tahun. Bahkan untuk menggali dana tersebut ada sebagian saudara kita yang rela ‘mengemis’ di dalam bis atau di pinggir jalan raya, karena sudah tidak ada lagi alternatif lain.

Memang tidak semua pembangunan masjid nasibnya seperti itu, ada yang mendapatkan dana yang melimpah hingga terkadang sisa. Maka dalam hal ini perlu ada pemerataan. Yang kebetulan mendapatkan dana melimpah selayaknya menengok daerah-daerah lain yang gersang dalam pendanaan, terutama di daerah minoritas muslim. Ada sebagian kaum muslimin yang harus menempuh perjalanan beberapa kilometer karena tidak ada masjid jami’ yang bisa dipergunakan untuk menunaikan shalat jum’at. Sementara di tempat lain terkadang dalam satu desa ada dua masjid besar yang sama-sama dipergunakan untuk menunaikan shalat jumat.

Keikhlasan yang Diutamakan

Masjid sebenarnya memainkan peran penting dalam kehidupan umat Islam, sehingga perlu mendapatkan perhatian bersama. Karena pentingnya, pertama-tama yang dibangun oleh Rasulullah saw setelah tiba di Madinah -saat beliau hijrah dari Makkah- adalah masjid, yaitu Masjid Quba. Allah SWT juga menjanjikan jannah bagi orang yang membangun masjid. Nabi saw bersabda:

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ تَعَالَى قَالَ بُكَيْرٌ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah -Bukair berkata, ‘Seingatku beliau bersabda, ‘Dengan maksud mencari wajah Allah’-, niscaya Allah membuatkan rumah di surga untuknya.” (HR. Muslim)

Keutamaan tersebut hanya bisa dicapai dengan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah semata, meskipun masjid yang dibangun itu berukuran kecil. Karena dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa membangun sebuah masjid karena Allah walau seukuran sarang (kandang) burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di dalam jannah.” (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi)

Adapun bila seseorang membangun masjid dengan tujuan ingin dipuji oleh manusia atau hanya untuk berbangga-banggaan semata maka ia tidak akan memperoleh keutamaan ini. Dan jika hal ini merajalela di tengah-tengah manusia maka itu salah satu pertanda dekatnya hari kiamat.

Memakmurkan bukan sekedar membangun

Pembangunan masjid atau rehabilitasi yang dirancang oleh masyarakat, rata-rata menghendaki bentuk bangunan yang megah, lengkap dengan ornamen dan arsitektur mewah. Hal ini sudah menjadi tren di kalangan umat Islam. Mereka beralasan bahwa jika bangunan masjid dirancang dengan megah, tentu akan menarik minat kaum muslimin untuk lebih sering dan rajin datang ke masjid. Meskipun kenyataannya tidaklah demikian. Sering kita jumpai sebuah masjid yang begitu megah bangunannya namun sepi pengunjung. Jama’ahnya bisa dihitung dengan jari, terlebih saat shalat shubuh. Hal ini terjadi karena banyak masjid yang dibangun hari ini bukan untuk dimakmurkan. Masjid belum difungsikan secara maksimal. Rata-rata hanya sekedar untuk mengerjakan shalat berjamaah, setelah itu pintu dikunci, gerbang ditutup rapat dan hanya dibuka kembali setelah waktu shalat tiba.

Fungsi masjid sebenarnya bukan hanya untuk menunaikan shalat semata. Jika kita merujuk kepada sejarah perjuangan Rasulullah saw, kita akan melihat betapa masjid itu memiliki peran yang sangat besar dalam menanamkan dan memperkuat akidah, akhlak dan penegakan hukum Islam. Selain itu, masjid juga menjadi sentra pembinaan umat, kebersamaan, dan kepedulian kepada sesama.

Banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memakmurkan masjid. Selain menjaga dan memelihara kebersihannya, masjid juga bisa dijadikan sebagai sarana meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat, iktikaf, membaca Al Qur’an serta memperbanyak doa dan dzikir di dalamnya.

Masjid juga bisa kita manfaatkan untuk menyampaikan ilmu dan membina umat, bisa melalui khutbah atau mengadakan berbagai kajian keislaman. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, empat khalifah rasyidah yang menjadi penerus kepemimpinan Rasulullah saw adalah guru, ekonom dan pemimpin umat yang lahir dari masjid. Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali adalah empat ulama besar yang lahir dari masjid. Mereka belajar dan mengajar di masjid. Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Nawawi, dan ulama-ulama besar lainnya.

Yang tidak kalah pentingnya masjid juga bisa dimaksmimalkan fungsinya sebagai tempat pembinaan dan pengembangan ekonomi umat, yaitu dengan memfungsikannya sebagai sarana pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf .

Dari Masjidlah sebenarnya kemuliaan Islam bisa kembali tegak dan berkuasa di muka bumi ini. Asalkan umat Islam bukan hanya sekedar berlomba-lomba membangun masjid namun juga mau memakmurkannya. (abu hanan)


ar-risalah

~**~ Aku Mencintaimu karena Allah ~**~



Suatu ketika seseorang sahabat berada di sisi Nabi SAW lewatlah seorang di hadapannya. Ketika melihatnya ia berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku mencintainya.” Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah memberitahukannya?” “Belum.” Jawabnya. Beliau bersabda, “Beritahukanlah.” Orang tersebut menyusulnya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Orang tersebut membalas dengan ungkapan, “Semoga Allah yang menjadikanmu mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku.” (HR. Abu Dawud, shahih)

Sungguh, kalimat tersebut menggetarkan jiwa dan menyejukkan hati. Betapa tidak, ungkapan tersebut merupakan ekspresi iman yang tulus dan jujur. Bukan ucapan yang didasari keinginan duniawi. Bukan pula basa-basi yang diucapkan sebagai pemanis bibir.

Cinta dan loyalitas merupakan suatu kata indah yang sering diungkapkan banyak orang, namun jarang yang tepat menggunakan atau memahaminya. Saat ini kata tersebut malah identik dengan hal yng berkonotasi nafsu atau syahwat. Inilah akibatnya, jika tsunami media luar masuk ke negeri ini tanpa kontrol. Padahal, cinta dalam Islam merupakan kata-kata yang bermakna tinggi dari semua itu. Dengan cinta seseorang bisa masuk surga atau berakhir dalam neraka. Itu tergantung dari bagaimana dan kepada siapa ia mencintai.

Mengungkapkan perasaan cinta

Mengungkapan perasaan cinta kepada saudara seiman karena Allah merupakan suatu hal yang positif. Rasulullah SAW pernah mengungkapkan kecintaannya kepada sahabat Muadz bin Jabal RA.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ:”يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ”. فَقَالَ :”أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”.

Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal RA bahwa Rasulullah SAW meraih tangannya lalu mengatakan, “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu!” Lalu beliau bersabda, “Wahai Muadz, aku berpesan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa setelah shalat. ‘Allahumma `ainni `ala dzikrika wa husni ibadatika’ (Ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir, mensyukuri nikmatmu dan beribadah kepadamu dengan baik’.” (HR. Abu Dawud)

Mengungkapkan perasaan cinta karena Allah kepada sesama muslim bisa menjadi penguat ukhuwah atau persaudaraan. Sebab, dalam hubungan sosial selalu ada riak-riak kecil perasaan ghil, jengkel atau iri hati yang muncul karena kesalahpahaman. Ukhuwwah pun menjadi kaku dan dingin. Sehingga saat bertemu, tidak banyak salam dan sapa terucap. Jika dibiarkan, duri-duri tersebut dapat merusak ukhuwwah. Padahal, sebenarnya kekakuan tersebut bisa cair dengan komunikasi yang jujur dan tulus. Karena itulah Rasulullah SAW menganjurkan untuk mengekspresikan perasaan cinta dengan kata-kata.

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ إِيَّاهُ

“Jika seseorang mencintai saudaranya maka hendaknya ia mengungkapkan kepadanya bahwa ia mencintainya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Namun sayangnya sunnah ini semakin jarang dilakukan kaum Muslimin. Bisa jadi karena rasa enggan, malu atau tidak mengetahui efek positifnya. Padahal orang-orang shalih terdahulu mereka juga saling mengungkapkan rasa cinta mereka kepada saudaranya. Suatu ketika Mujahid, seorang ulama besar tabi’in menceritakan, “Aku bertemu dengan salah seorang dari sahabat Rasulullah SAW ia memegang pundakku dari belakang seraya berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu.” Kemudian aku membalasnya dengan mengatakan kepadanya, “Semoga Allah yang membuat engkau mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintai aku.” Lalu sahabat tersebut berkata, “Sekiranya Rasulullah SAW tidak bersabda, “Apabila seseorang mencintai orang lain maka ungkapkanlah kepadanya bahwa ia mencintainya.” Niscahya aku tidak akan mengungkapkannya kepadamu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, hasan shahih).

Dengan ungkapan rasa cinta seseorang kepada saudaranya maka hubungan ukhuwwah karena Allah ta’ala akan semakin bertambah kuat dan kokoh, sehingga akan mendorong saudaranya untuk juga mencintainya serta mendoakannya dengan tulus. Yang demikian itu tentu juga akan menambah kesempurnaan iman seseorang, karena ikatan cinta karena Allah merupakan simpul ikatan cinta yang paling kuat.

Seseorang akan bersama yang ia cintai

Urusan cinta dan loyalitas bukan hal sederhana. Nasib anda di akherat kelak bergantung kepada bagaimana Anda mengelolanya. Kelak di akhirat, seseorang akan disatukan bersama orang yang ia cintai. Karena itu cintailah orang yang dijamin mendapatkan cinta-Nya. Yaitu, para Nabi, as-shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.

Dari Anas bin Malik ia menceritakan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah kapankah tibanya hari Kiamat? Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari Kiamat?” Orang tersebut berkata, “Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya engkau akan bersama yang engkau cintai.” Demi mendengar sabda Rasulullah tersebut Anas bin Malik berkata, “Tidak ada sesuatu yang menggembirakan kami setelah masuk Islam, melebihi kegembiraan kami terhadap sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya engkau bersama yang engkau cintai.” Lalu Anas berkata, “Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya juga Abu Bakar dan Umar dan aku berharap semoga kelak bisa dikumpulkan bersama mereka walaupun tidak bisa beramal dengan amalan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Persaudaraan dalam Islam merupakan sesuatu yang istimewa. Keterkaitan muslim dengan saudaranya bukan karena faktor demografi, bahasa, warna kulit, warna mata atau ras. Melainkan karena keimanan kepada Allah dalam satu akidah. Karena itu derajat dan kedudukan muslim yang berhasil mengukuhkan ukhuwwah tersebut sangat tinggi dan mulia. Para Nabi dan syuhada pun iri kepada mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat suatu golongan manusia yang bukan dari para nabi dan bukan pula syuhada, akan tetapi para nabi dan syuhada iri dengan kedudukan mereka disisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat berkata, “Beritahukanlah kepada kami siapa mereka wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjelaskan, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah bukan karena ikatan kekerabatan diantara mereka dan bukan pula karena faktor harta yang mereka harapkan, demi Allah sesungguhnya pada wajah-wajah mereka terdapat cahaya dan mereka berada diatas cahaya, mereka tidak merasa khawatir ketika manusia khawatir, dan tidak pula bersedih hati ketika manusia bersedih hati, lalu beliau membaca firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62) (HR. Abu Dawud, shahih)

Sebuah renungan bagi kaum muslimin

Namun, kita perhatikan fenomena akhir-akhir ini amat menghkawatirkan. Betapa banyak kaum muslimin yang menempatan cinta dan loyalitasnya mereka kepada orang-orang kafir, para artis, para pelaku maksiat yang jauh dari Islam. Disadari maupun tidak ‘musibah’ ini menjadi suatu fenomena yang dianggap biasa. Sehingga banyak kaum muslimin yang mengikuti tradisi orang kafir, merayakan hari raya dan mengkiblat gaya hidup mereka.

Sebaliknya, orang-orang yang seharusnya mereka cintai justru ditinggalkan. Padahal, tidak ada teladan yang lebih baik dari pada Rasulullah SAW, para ulama dan orang-orang shalih. Berawal dari kesalahan memilih idola akan berujung kepada salah memilih saudara. Bisa jadi mengapa hari ini banyak orang muslim acuh terhadap penderitaan saudaranya karena menganggap mereka ‘orang lain’, bukan bagian dari satu tubuh. Mengapa demikian? Karena orang yang dianggap saudara adalah orang yang memiliki idola dan life style yang sama.

Hari ini, kita sangat mendambakan hadirnya ukhuwwah Islamiyah, kesatuan atas dasar Islam. Kita merindukan masyarakat muslim yang mencintai saudara seimannya. Cinta yang tulus dan jujur, yang terwujud dengan senantiasa saling mengingatkan kepada kebenaran dan kesabaran. Tawashaw bil haq wa tawashaw bis shabr. Hari ini, kita masih mengangan-angankan hadirnya saudara seiman yang mengatakan, “Aku mencintaimu karena Allah.” Sehingga kita bisa membalas ungkapan mereka dengan doa, “Semoga Allah yang menjadikan engkau mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintai aku.” Sungguh, ungkapan penyejuk jiwa yang tulus tersebut masih kita tunggu hingga hari ini.

“Ya Allah sesungguhnya kami memohon kecintaan kepada-Mu, mencintai orang-orang yang Engkau cintai dan mencintai amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri pada cinta-Mu dan jadikanlah kecintaan kami kepada-Mu melebihi kecintaan kami pada diri kami, keluarga kami, dan air dingin yang segar.”


ar-risalah