Minggu, 08 November 2009

Jadilah Air, Jangan Ikuti Jejak Awan




Di sebuah tempat nan jauh dari kota, tampak seorang pemuda bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan. Ia seperti mencari sesuatu di surau itu.

“Assalamu’alaikum, Guru!” ucapnya ke seorang tua yang terlihat sibuk menyapu ruangan surau. Spontan, pak tua itu menghentikan sibuknya. Ia menoleh ke si pemuda dan senyumnya pun mengembang. “Wa’alaikumussalam. Anakku. Mari masuk!” ucapnya sambil meletakkan sapu di sudut ruangan. Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila.

“Ada apa, anakku?” ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup. “Guru. Aku diterima kerja di kota!” ungkap sang pemuda kemudian. “Syukurlah,” timpal sang kakek bahagia. “Guru, kalau tidak keberatan, berikan aku petuah agar bisa berhasil!” ucap sang pemuda sambil menunduk. Ia pun menanti ucapan sang kakek di hadapannya.

“Anakku. Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan,” untaian kalimat singkat meluncur tenang dari mulut si kakek. Sang pemuda belum bereaksi. Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata gurunya. Tapi, tak berhasil. “Maksud, Guru?” ucapnya kemudian.

“Anakku. Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya; air kian bersemangat untuk bergerak ke bawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa mengaliri dunia di bawahnya,” jelas sang kakek tenang. “Lalu dengan awan, Guru?” tanya si pemuda penasaran.

“Jangan sekali-kali seperti awan, anakku. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi,” terang sang kakek begitu bijak. “Tapi anakku,” tambahnya kemudian. “Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin.” Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.

**
Seribu satu pengharapan kerap dialamatkan buat para pemimpin. Mereka yang berharap adalah kaum lemah yang butuh perlindungan, kaum miskin yang menginginkan bantuan, dan masyarakat awam yang rindu bimbingan.

Rangkaian harapan itu berujung pada satu titik: agar kebaikan tidak cuma berhenti pada diri si pemimpin. Tapi, bisa mengalir ke kaum bawah: membasahi cekungan harap yang kian mengering, dan menghidupkan benih-benih hijau yang mulai menguning.

Sayangnya, tidak semua pemimpin selalu seperti air yang mengalir dan terus mengalir menyegarkan kehidupan di bawahnya. Karena ada sebagian mereka yang justru sebaliknya, seperti awan yang kian menjauh meninggalkan bumi. Seolah ada yang ingin mereka ungkapkan: selamat tinggal dunia bawah; maaf, kami sedang asyik bercengkrama bersama angin. (mnuh)

( Muh Bardan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar