Rabu, 04 Agustus 2010

~~ Memuliakan Pasangan ~~




Banyak orang yang setelah menjalani hidup berumahtangga justru merasa “marah” pada pasangannya. Bagaimana mengatasinya..?


Dalam sebuah pelatihan parenting, saya mengikuti sesi yang membahas bagaimana caranya memahami pasangan. Menarik sekali mengamati bagaimana peserta yang seluruhnya perempuan bercerita tentang hubungan mereka selama ini dengan pasangan masing-masing.

Ada yang merasa sangat bahagia dengan pasangannya yang semakin baik memperlakukannya. Namun, kebanyakan mereka menyatakan kecewa pada pasangannya masing-masing. Berbagai sebab yang melatari kekecewaan mereka. Misalnya, dianggap remeh oleh pasangannya, merasa dinomorduakan dibandingkan kepentingan lain oleh suaminya. Ada juga yang merasa terkekang oleh sikap pasangan, bahkan ada yang merasa “dirampok” oleh pasangannya.

Perkawinan Penyebab Bencana..?

Kemarahan menyeruak manakala para istri tersebut menceritakan hal yang terpendam dalam batinnya. Baik yang menceritakannya dengan terang-terangan maupun menyembunyikannya dalam penuturan mereka tentang kesabaran dan penerimaan.

Sungguh, saya sangat kagum dengan sikap para perempuan-perempuan yang berhati lapang. Sebab, betapapun kemarahan itu ada dalam diri mereka, tak satupun yang melontarkan niat untuk bercerai, atau minimal membalas perlakuan pasangannya. Namun, saya yakin kemarahan yang terlupakan dan kemudian mengendap di bawah sadar tersebut bukan hal yang baik, kalau bukan berada di tingkat yang membahayakan.

Seringkali, dalam pernikahan, perempuan adalah pihak yang merasa dikorbankan. Dituntut untuk melakukan sekian banyak hal –yang bahkan ketika hidupnya bersama orangtuanya ia tak harus melakukannya. Itulah makanya, mitos pasca perkawinan yang seringkali terdengar, terutama di masyarakat Barat adalah “perkawinan jauh lebih baik bagi pria daripada bagi wanita.”

Sebuah pertanyaan lalu muncul dalam artikel yang dimuat dalam USA Today pada tahun 1997, “Apakah menikah berarti membelenggu wanita..?” Sementara penulis artikel itu sendiri kemudian memaparkan pernyataan seorang professor di bidang psikologi, “Perkawinan melindungi pria dari depresi tetapi membuat wanita lebih rentan.”

Kenyataan yang kemudian didapati, beberapa perempuan memang merasa “dirampok” setelah memutuskan untuk menikah. Perempuan merasa perkawinan adalah alat pemotong yang paling cepat memisahkan dirinya dengan karier, teman-teman, cita-cita, dan aktualisasi diri.

Padahal, tentu saja tujuan perkawinan bukanlah untuk membuat salah satu dari pasangan merasa dirugikan, marah, atau direndahkan. Bahkan, bukankah tujuan perkawinan yang digariskan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) agar kita merasa tentram dengan keberadaan pasangan kita?

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum [30]: 21).

Inilah yang seringkali terlupa oleh kita, bahwa dalam perkawinan yang terpenting adalah bagaimana caranya menciptakan kasih sayang, bukan semata menetapkan daftar hak dan kewajiban.

Mengupayakan Kemuliaan

Mari sejenak kita resapi jawaban ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu (RA) ketika ia ditanya oleh seorang Arab Badui, mengapa ia diam saja ketika istrinya marah dan berteriak padanya. “Wahai saudaraku semuslim, aku berusaha menahan diri dari sikapnya itu, karena ia memiliki hak-hak atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa saja menyakitinya dan memarahinya. Akan tetapi, aku sadar bahwa tidak ada yang dapat membantu kaum wanita, selain orang yang mulia; dan tidak ada orang yang merendahkan mereka selain orang yang suka menyakiti. Mereka (kaum wanita) dapat mengalahkan orang mulia tetapi mereka dapat dikalahkan oleh orang yang suka menyakiti. Namun, aku sangat ingin menjadi orang yang mulia meski aku harus kalah (dari istriku) dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku termasuk orang yang menang.”

Nah, bila kita termasuk orang yang ingin masuk dalam kategori mulia seperti yang digambarkan ‘Umar dalam perkataannya di atas, tentu tidak ada suami atau istri yang merasa dikalahkan, merasa direndahkan, dan memendam amarah. Setiap dari kita akan berusaha menahan diri untuk menjadi orang yang mulia, meskipun harus mengalah. Memuliakan pasangan kita agar tidak terluka sekaligus adalah upaya memuliakan diri sendiri karena menghindarkan diri dari tipu daya setan lewat amarah.

Proses untuk menjadi pribadi yang mulia ini tentu adalah perjalanan yang sulit. Namun, mengingat kembali tujuan utama kita menikah akan mendorong kita berusaha untuk menjalani hal yang sulit tersebut. Tujuan utama pernikahan yang disepakati akan menjadi sumber energi manakala perkawinan berhadapan dengan masalah.

Proses ini membutuhkan kematangan pribadi seseorang, sekaligus mampu mempercepat kematangan pribadi. Karena, dengan mengikatkan diri dalam perkawinan berarti seseorang telah siap untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang istri, sebagai suami, dan kemudian peran sebagai orangtua dari anak-anak yang lahir. Penambahan peran dari peran-peran sebelumnya ini juga berarti satu hal: kemampuan dan kemauan kita untuk berubah.

Memang apa yang kita jalani setelah memasuki jenjang pernikahan tak sama dengan saat kita masih lajang. Seorang lelaki tak lagi bisa pulang kerja lalu menikmati makan malam yang diingikannya di restoran lalu kemudian pulang ke rumah dan langsung tidur. Sebab, di rumah telah ada istri yang menunggu dengan makanan yang telah dimasak dengan sepenuh hati.

Demikian juga seorang wanita, tak bisa lagi berlama-lama jalan-jalan di pasar swalayan dengan sahabatnya, karena ia telah mengambil keputusan untuk bertanggung jawab atas perannya sebagai istri dan orangtua.

Berusaha untuk saling memahami bahwa segala sesuatunya telah berubah akan menjadikan pasangan seiya-sekata dalam menghadapi beratnya kenyataan hidup. Kini, mereka bukan lagi seorang manusia melainkan sepasang manusia. Cobalah membuka hati untuk menyadari bahwa apa yang kita lakukan kini berdampak bagi banyak orang.

Dengan demikian, kita akan berusaha mengelola ego dan berusaha untuk melihat dari sudut pandang orang banyak. Namun, bukan berarti harus selalu menempatkan diri kita pada posisi yang kalah. Bernegosiasilah dengan pasangan dan pada keadaan. Sehingga kita bisa merasakan apa yang dirasakan olehnya tanpa mengesampingkan apa yang membuat kita bahagia.

Berbicara dari hati ke hati, mencoba menempatkan diri pada posisinya tentu akan membuat perasaan tentram itu semakin meliputi hati. Rasa kasih sayang pun akan tumbuh dengan subur. Tak ada lagi perasaan direndahkan, dinomorduakan, marah, bahkan “dirampok” oleh pasangan. Kita akan tahu mengapa kita harus melakukan itu bagi pasangan dan pasangan pun mengerti dalam batas apa ia boleh meminta hal tersebut pada kita.

Memang tak mudah, dan butuh proses untuk semua itu. Bahkan, kadang menguras segenap rasa dan upaya. Oleh karena itu, proses untuk meraih ketentraman dan kasih sayang ini hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang berpikir. Bukan hanya sekadar mengedepankan ego.

by :Kartika Trimarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar