Rabu, 04 Agustus 2010

~* Mengeratkan Cinta dengan Privasi *~







Berprivasi sering dianggap tidak terbuka. Sejatinya, privasi malah menumbuhkan percaya dan saling menghargai


Setelah pernikahan dilangsungkan, agenda selanjutnya yang dijelang oleh setiap pasangan adalah adaptasi. Meski sudah mengenal bahkan telah berteman sekian tahun, pasti ada saja masalah yang harus diadaptasikan. Salah satunya adalah masalah privasi.

Bagi yang terbiasa menggunakan barang bersama-sama di rumah, mungkin akan terkaget-kaget ketika harus menyesuaikan diri dengan pasangan yang terbiasa menggunakan barang atas nama pribadi. Seperti buku harian, telepon genggam, alat tulis pribadi, bahkan gelas pribadi. Yang terbiasa “bersama” akan merasa sangat direpotkan dan yang terbiasa berprivasi merasa dilangkahi.

Banyak orang yang berpendapat bahwa setelah menikah, tidak ada lagi privasi yang mesti dijaga dengan pasangan. Bahkan ada yang mengatakan setelah menikah maka apa yang ada adalah milik bersama. Termasuk juga masa lalu pasangan, harus setransparan mungkin diketahui bersama.

Hargai dan Negosiasi

Namun, benarkah privasi kontradiksi dengan keterbukaan? Sesungguhnya privasi dan keterbukaan adalah dua hal yang berbeda dan tak memiliki hubungan sebab akibat, sehingga tak dapat kontradiksi di ranah yang sama. Privasi sejatinya timbul dari naluri untuk memiliki. Keterbukaan adalah kondisi ketika kita tidak menyembunyikan sesuatu dari orang lain. Berprivasi bukan berarti kita menyembunyikan sesuatu dari pasangan dan bermain belakang darinya.

Setiap orang pastinya memiliki pribadi yang berbeda dan kecenderungan yang berbeda. Menghormati perbedaan inilah sesungguhnya arti privasi. Kita menghormati bahwa pasangan kita memiliki hobi yang berbeda dan menginginkan waktu untuk menikmati hobi tersebut sendiri saja, inilah yang disebut dengan privasi.

Karena privasi sejatinya adalah naluri, maka kita pun dituntut untuk senantiasa berhati-hati dalam menjaga yang satu ini. Layaknya saat kita menyatakan bahwa “ini suamiku”, “ini rumahku”, atau “ini tanggung jawabku” maka bila ada yang mencoba mengusiknya tentu kita akan merasa terganggu. Dengan demikian, ketika sudah menikah, perlu disepakati batas-batas wilayah privasi masing-masing orang yang tak boleh dilanggar.

Negosiasikanlah dengan pasangan secara jelas, apa yang disukai dan tidak disukai oleh masing-masing orang. Ini akan membantu kita memetakan mana yang bisa diakui sebagai wilayah bersama, mana yang secara utuh merupakan milik perorangan. Bernegosiasi dalam masalah-masalah unik seperti ini pun dibolehkan dalam Islam.

“Kaum Muslimin berada dalam persyaratan yang ditetapkan di kalangan mereka sendiri, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.” (Riwayat At-Tirmidzi).

Memetakan wilayah privasi akan sangat menguntungkan kedua belah pihak dalam mengeratkan hubungan. Misalkan saja, Anda tidak menyukai pasangan Anda membuka SMS di hand phone Anda. Bukan karena alasan yang “nyeleneh”, tetapi karena Anda termasuk orang yang tidak mengetahui ada SMS yang masuk kecuali dengan melihat pemberitahuan yang ada di layar. Namun, bila pasangan sudah tahu masalah Anda tersebut sekaligus juga mengetahui bahwa Anda tidak berkeberatan bila ia mengangkat telepon saat Anda tak dapat menjawabnya, tentu kesepahaman ini justru bermanfaat bagi Anda berdua.

Di sinilah justru peran penting keterbukaan. Bila tidak saling terbuka pada pasangan, maka akan sulit diperoleh kesepahaman untuk dapat memetakan wilayah privasi kita.


Privasi vs Percaya

Jangan salah mengartikan wilayah privasi sebagai wilayah yang menyimpan hal-hal rahasia. Bila ternyata dia tidak menyukai Anda membuka email-nya, mungkin di dalamnya terdapat sejumlah beban pekerjaannya yang dikhawatirkan dapat membuat Anda cemas. Cobalah untuk memaklumi apa yang menurutnya baik untuk Anda ketahui.

Semangat untuk memaklumi dan mengerti ini akan timbul dengan satu syarat, yaitu Anda dan pasangan telah saling memercayai. Bila rasa percaya ini telah begitu melekat pada kita, lantas apa perlunya mencari tahu apa yang tidak diungkapkan pasangan pada kita.

Tak selamanya blak-blakan dan jujur apa adanya, baik untuk kehidupan berumahtangga. Mari menyimak sejenak, apa yang pernah Rasulullah lakukan terhadap istri-istrinya manakala mereka menanyakan kepada Rasulullah siapakah istri yang paling disayanginya. Lelaki yang penuh kasih ini tidak lantas menjawab dengan “jujur” siapa yang paling disayanginya. Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Aku akan beritahukan kepada kalian nanti.”

Setelah itu dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah kemudian menggenggamkan sebuah cincin pada masing-masing istrinya seraya berpesan pada setiap istri bahwa cincin ini adalah tanda cinta mereka yang terlalu indah untuk dibagikan kabarnya pada orang lain.

Di kemudian hari ketika para istri berkumpul kembali dan menagih jawaban dari suami terbaik ini, lisannya berucap, “Yang paling aku sayangi adalah dia yang kuberikan cincin kepadanya.” Maka setiap istri pun berbunga hatinya dan merasa bahwa ialah yang terindah.

Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah bahwa kejujuran tak selalu berarti membuka apa adanya semua hal. Percaya pun tidak selamanya dibangun dari kejujuran, apabila kejujuran tersebut tidak ditempatkan dalam sikap yang bijak. Yakinlah bahwa setiap orang diberkahi naluri untuk melindungi orang yang disayanginya dalam keadaan baik. Karena itu, jangan ragukan pasangan Anda sebagai seorang khalifah Allah yang senantiasa menjaga amanah-Nya dalam kebaikan, yaitu Anda.

Mengapa Harus Berprivasi

Rasa tidak dipercaya, rasa selalu menjadi tersangka, atau malah terluka akan senantiasa menjadi benalu dalam hubungan kita dengan pasangan. Rasanya mungkin tak ada salahnya bila kita membiarkan ia sejenak sibuk dengan rencana-rencana barunya dengan sahabat lamanya. Bahkan, mungkin kita justru akan merasa lebih aman dan tentram bila ia memilih untuk tidak membiarkan kita membaca buku harian yang telah ditulisnya semenjak SMP.

Privasi akan membuat kita dan pasangan belajar untuk saling mempercayai dan menghargai. Kita akan lebih ringan untuk menerima setiap sikap yang dipilihnya bila memang berdasarkan itikad untuk membahagiakan. Kita pun menjadi orang yang senantiasa menyadari bahwa Allahlah Yang Maha membolak-balikkan dan menjaga hati pasangan kita. Segigih apa pun kita berusaha, keputusan Allah adalah final dari setiap harapan kita. Karenanya, senantiasa berprasangka baiklah kita pada Allah dan pasangan kita.

Privasi pun akan membuat kita dengan tulus menerima kenyataan bahwa dirinya adalah seseorang yang terbentuk dari masa lalu dan dunia yang berbeda. Memaksanya untuk memasuki dunia yang sama hanya akan membuat salah satu diantara Anda dan dia tersiksa. Bukankah menjadikan dunia kita dan dunianya berdampingan akan lebih baik? Kita akan tetap merasa nyaman sekaligus tetap terikat dalam ketergantungan yang membuat kita kehilangan manakala berjauhan.

Karena, setiap pilar yang menopang tegaknya sebuah rumah pun tak selalu berada di tempat yang sama. Justru karena berada di tempat yang berbeda, ia dapat membuat rumah tersebut berdiri dengan kokoh. Itulah indahnya privasi. Insya Allah.





SUARA HIDAYATULLAH JUNI 2010 *Kartika Trimarti/Penulis tinggal di Bekasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar