Selasa, 31 Mei 2011

**~** Di Mana Dia Di Hatimu? **~**



Saat Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Thur, dalam perjalanan hendak berhijrah ke Madinah, musuh-musuh Islam sudah berdiri di depan pintu gua dan hampir menemui mereka.

Ketika Abu Bakar cemas, Rasulullah s.a.w. menenangkannya dengan berkata, "Jangan takut, Allah bersama kita."

Itulah kehebatan Rasulullah, ALLAH selalu di hatinya.

Ketika di ambang maut?

Sewaktu Da'thur, seorang tentara musuh menyerang endap Rasulullah saw
lalu meletakkan pedang di leher beliau dan bertanya, "Siapakah akan menyelamatkan kamu dariku?"

Jawab Rasulullah penuh yakin, "ALLAH."

Mendengar jawaban itu, gementarlah Da'thur dan terlepaslah pedang dari tangannya. Itulah kehebatan Rasulullah ... selalu ada DIA di hati beliau.

Ketika tidak siapa mengetahui?

Diceritakan juga bahwa pada suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab ingin menguji seorang budak gembala kambing di sebuah padang pasir. "Bisa kau jualkan kepadaku seekor dari kambing-kambing yang banyak ini?"

"Maaf tuan, tidak bisa. Kambing ini bukan saya yang punya. Ia milik tuan saya. Saya hanya dipercayakan untuk menjaganya saja."

"Kambing ini terlalu banyak dan tidak ada orang selain aku dan kamu di sini. Jika kau jualkan seekor kepadaku dan kau katakan kepada tuanmu bahwa kambing itu telah dimakan serigala, tuanmu tidak akan mengetahuinya," desak Umar lagi, sengaja menguji.

"Kalau begitu, di mana Allah?" ujar budak itu.

Umar terdiam dan kagum dengan keimanan yang tinggi di dalam hati anak kecil itu.
Meskipun hanya seorang gembala kambing yakni karyawan bawahan, tetapi dengan kejujuran dan keimanannya, dia punya posisi yang tinggi di sisiALLAH. Jelas ada DIA di hatinya.

Ketika kamu tidak jabatan?

Satu ketika yang lain, Sayidina Khalid Al-Walid diturunkan pangkatnya dari seorang jenderal menjadi seorang prajurit biasa oleh Khalifah Umar. Keesokannya, Sayidina Khalid tetap ke medan perang dengan semangat yang sama.
Tidak terpengaruh sedikit pun perasaan dan semangat jihadnya meskipun telah diturunkan pangkat.

Ketika ditanya mengapa, Sayidina Khalid menjawab, "Aku berjuang bukan karena Umar." Ya, Sayidina Khalid berjuang karena ALLAH. Ada DIA di hatinya.

Lalu, di mana Dia dihati kita?

Melihat anekdot-anekdot itu, aku terkesima lalu bertanya kepada diri, di manakah DIA dalam hatiku?

Apakah ALLAH selalu menjadi ketergantungan harapan dan tempat merujuk dan membujuk hatiku yang rawan?

ALLAH ciptakan manusia hanya dengan satu hati. Di sanalah sesuai cinta ALLAH bersemi. Jika cinta ALLAH yang bersinar, sirnalah segala cinta yang lain. Tetapi jika sebaliknya, cinta selain-NYA yang ada di situ, maka cinta Allah akan terpinggirkan. Ketika itu, tidak DIA di hatiku!

Sering diri ini berbicara sendiri, bersendikan sedikit ilmu dan didikan dari guru-guru dalam hidupku, kata mereka (dan aku sangat yakin dengan kata itu);

"Bila Allah ada di hatimu, kau seolah-olah memiliki segala-galanya. Itulah kekayaan, ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki."

Kata-kata itu sangat menghantui diriku. Ia menyebabkan aku berpikir, merenung dan bermenung, apakah ALLAH menjadi fokus dalam hidupku?

Apakah yang aku pikir, rasa, lakukan dan laksanakan selalu merujuk kepada-NYA?

Bila bertemu antara kehendak-NYA dengan kehendakku, kehendak siapa yang aku dahulukan? Sanggupkah aku menyayangi hanya karena-NYA? Tegakah aku membenci juga karena-NYA?

Muhasabah ini melebar lagi. Lalu aku tanyakan pada diri, bagaimana sikapku terhadap hukum-MU?

Sudahkah aku melawan hawa nafsu untuk patuh dan melakukan segala yang wajib sekalipun perit dan sakit ketika melaksanakannya? Sudahkah aku meninggalkan segala yang haram meskipun terlihat indah dan menyenangkan ketika ingin melakukannya?

Pertanyaan ini sesungguhnya telah menimbulkan banyak persoalan. Bukan akal yang menjawabnya, tetapi rasa hati yang sangat dalam. Aku tidak dapat mendustai-MU, ya ALLAH.

Dan aku juga tidak dapat mendustai diri sendiri

Aku teringat bagaimana suatu ketika seorang sufi diajukan orang dengan satu pertanyaan, "Apakah engkau takut ALLAH?"

Dia menangis dan menjawab, "Aku serba salah untuk menjawab ya atau tidak. Jika aku katakan tidak, aku akan menjadi seorang yang kafir. Sebaliknya kalau aku katakan ya, aku terasa menjadi seorang munafik. Sikapku berbeda dengan kata-kata. Orang yang takut ALLAH bergetar hatinya bila mendengar ayat-ayat Allah tapi aku tidak ... "

Maksudnya, jika seorang sufi yang hatinya begitu dekat dengan ALLAH pun sulit bila ditanyakan apakah ada DIA di hatinya, lebih-lebih lagilah aku yang hina dan berdosa ini.

Di hatiku masih ada dua cinta yang bergolak dan berbolak-balik. Antara cinta ALLAH dan cinta dunia sedang berperang dengan begitu hebat dan dahsyat sekali.

Kalau kau tanyakan aku, "Apakah DIA di hatimu?"

Aku hanya mampu menjawab, "Aku seorang insan yang sedang bermujahadah agar ada DIA di hatiku. Aku belum sampai ke tingkat mencintai-NYA tetapi aku yakin aku telah memulai langkah untuk mencintai-NYA."

Justru, karena belum ada DIA di hatiku, hidupku belum bahagia, belum tenang, dan belum sejahtera. Aku akan terus mencari. Aku yakin ALLAH itu dekat, pintu ampunan-NYA lebih luas dari pintu kemurkaan-NYA.

Selangkah aku mendekat, seribu langkah DIA merapat. Dan akhirnya ... aku yakin ... suatu saat nanti, akan ada DIA di hatiku dan di hatimu jua.

Dan kita akan terus mengemis kasih_Nya ...

- Artikel iluvislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar