Selasa, 31 Mei 2011
**~** Mencari Ketenangan Hati **~**
Ketenangan itu dicapai dalam zikrullah. Namun zikrullah yang bagaimana dapat mempengaruhi dan dampak ke hati? Banyak yang berzikir tetapi tidak tenang.
Ada orang berkata, "ketika saya dihimpit hutang, jatuh sakit, dicerca dan difitnah, saya pun berzikir. Saya ucapkan subhanallah, alhamdulillah, Allah hu Akbar ratusan bahkan ribuan kali tetapi mengapa hati tidak tenang juga?"
Zikrullah hakikatnya bukan sekadar menyebut atau menuturkan kalimat. Ada bedanya antara berzikir dengan "membaca" kalimat zikir. Zikir yang efektif melibatkan tiga dimensi - dimensi lidah (qauli), hati (qalbi) dan perlakuan (fikli).
Mari kita lihat lebih dekat bagaimana ketiga dimensi dzikir ini diaplikasikan. Katalah lidah kita mengucapkan subhanallah - artinya Maha Suci Allah. Itu zikir qauli.
Namun, pada waktu yang sama hati harus merasakan Allah itu Maha Suci pada zat, sifat dan af'al (perbuatannya). Segala ilmu yang kita miliki tentang kesucian Allah harus dirasakan bukan hanya diketahui. Allah itu misalnya, suci dari sifat-sifat kotor seperti dendam, khianat, prasangka dan sebagainya.
Dimensi Kata, Rasa Dan Tindakan
Jika seorang hamba yang berdosa bertobat kepada-Nya, Allah tidak hanya mengampunkannya, malah menghapus catatan dosa itu, bahkan menyayangi dan memberi "hadiah" kepadanya. Firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Allah akan menghapus dosa-dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ..." (Surah At Tahrim: 8)
Firman Allah lagi:
"... Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri." (Surah Al Baqarah: 222)
Sifat ini berbeda sekali dengan kita manusia yang kekadang begitu sulit memaafkan kesalahan orang lain. Dan segelintir yang mampu memaafkan pula begitu sulit melupakan - forgive yes, forget not! Hendak memberi hadiah kepada orang yang bersalah mencaci, memfitnah dan menghina kita?
Ah, jauh panggang dari api! Begitulah kotornya hati kita yang selalu diselubungi dendam, prasangka dan sulit memaafkan. Tidak seperti Allah yang begitu suci, lunak dan pemaaf. Jadi, bila kita bertasbih, rasa-rasa inilah yang harus diresapkan ke dalam hati. Ini zikir qalbi namanya.
Tidak cukup di tingkat itu, zikrullah perlu ditingkatkan lagi ke dimensi ketiga. Hendaklah orang yang bertasbih itu memastikan perlakuannya benar-benar menyucikan Allah. Artinya, dia melakukan hal yang sesuai dengan perintah Allah yang Maha Suci dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Yang halal, wajib, harus dan sunat membuat. Sedangkan yang haram dan makruh ditinggalkannya. Zina, mengumpat, mencuri, memfitnah dan lain-lain dosa yang keji dan kotor dijauhi. Bila ini dapat dilakukan kita telah tiba di dimensi ketiga zikrullah - zikir fikli!
Jika ketiga dimensi zikrullah itu dapat dilakukan, maka dampaknya sangat mendalam ke hati. Minimal hati akan dapat merasakan empat hal:
Rasa kehambaan. Rasa bertuhan. Memahami maksud takdir. Mendapat hikmah di balik ujian.
Hati adalah sumber dari segala-galanya dalam hidup kita, agar kehidupan kita baik dan benar, maka kita perlu menjaga kebersihan hati kita. Jangan sampai hati kita kotori dengan hal-hal yang dapat merusak kehidupan kita apalagi sampai merusak kebahagiaan hidup kita di dunia ini dan di akhirat nanti.
Untuk menjaga kebersihan hati maka kita juga perlu untuk menjaga penglihatan, pendengaran, pikiran, ucapan kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan menjaga hal-hal tersebut kita dapat menjaga kebersihan hati kita. Dengan hati yang bersih kita gapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rasa kehambaan
Rasa kehambaan adalah rasa yang harus ada di dalam hati seorang hamba Allah terhadap Tuhan-Nya. Antara rasa itu adalah rasa miskin, jahil, lemah, bersalah, hina dan lain-lain lagi. Bila diuji dengan kesakitan, kemiskinan, pertengkaran misalnya, seorang yang memiliki rasa kehambaan nampak segalanya itu datang dari Allah. Firman Allah:
"Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman." (Surah At Taubah: 51)
Seorang hamba akan pasrah dan merasakan bahwa dia benar diuji. Bukankah dia seorang hamba? Dia mematuhi apa yang terjadi dan tidak mempertanyakan mengapa aku yang diuji? Kenapa aku, bukan orang lain? Ini samalah dengan mempertanyakan Allah yang mendatangkan ujian itu. Menerima hakikat bahwa kita layak diuji akan menyebabkan hati menjadi tenang. Jika kita "memberontak" hati akan bertambah kacau.
Imam Ghazali pernah menyatakan bahwa cukuplah seseorang hamba dikatakan sudah "memberontak" kepada Tuhannya bila dia mengubah kebiasaan-kebiasaan dalam hidupnya saat diuji Allah dengan sesuatu yang tidak disukainya.
Misalnya, dia tidak lalu ingin makan-minum secara teratur, tidak mandi, tidak menyisir rambut, tidak berpakaian rapi, tidak membereskan kumis dan janggut dan lain-lain yang menjadi selalu menjadi rutin hidupnya.
Ungkapan mandi tak basah, tidur tak lena, makan tak kenyang adalah "demonstrasi" seorang yang sudah tercabut rasa kehambaannya saat diuji.
Bila ditimpa ujian kita diajarkan untuk mengucapkan kalimat istirja '- innalillah wa inna ilaihi rajiun. Firman Allah:
"... Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-nyalah kami kembali." (Surah Al Baqarah: 156)
Mengapa kita diperintahkan mengucapkan istirja '?
Kalimah ini sebenarnya mengingatkan kita agar kembali merasakan rasa kehambaan. Bahwa kita adalah hamba milik Allah dan kepada-Nya kita akan dikembalikan. Kita layak, patut dan harus diuji karena kita hamba, bukan tuan apalagi Tuhan dalam hidup ini.
Rasa Bertuhan
Rasa kehambaan yang serba lemah, miskin, kurang dan jahil itu harus diimbangi oleh rasa bertuhan. Bila kita rasa lemah timbul ketergantungan kepada yang Maha kuat. Bila kita rasa kurang timbul pengharapan kepada yang Maha sempurna. Bila miskin, timbul rasa ingin meminta kepada yang Maha kaya. Rasa pengharapan, pengaduan dan permintaan hasil menghayati sifat-sifat Allah yang Maha sempurna itulah yang dikatakan rasa bertuhan.
Jika rasa kehambaan menyebabkan kita takut, hina, lemah sebaliknya rasa bertuhan akan menimbulkan rasa berani, mulia dan kuat. Seorang hamba yang paling kuat di kalangan manusia adalah dia yang merasa lemah di sisi Allah.
Ketika itu ujian walau bagaimana berat sekalipun akan mampu dihadapi karena merasakan Allah akan membantunya. Inilah rasa yang dialami oleh Rasulullah SAW yang menenteramkan kekhawatiran Sayidina Abu Bakar ketika bersembunyi di gua Thaur dengan katanya, "la tahzan innallaha maana - jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita!"
Rasa bertuhan inilah yang menyebabkan para nabi dan rasul, mujaddid dan mujtahid, para mujahid dan murabbi sanggup menghadapi kekuatan mayoritas masyarakat yang menentang mereka maupun kezaliman pemerintah yang berkuasa.
Tidak ada istilah kecewa dan putus asa dalam kamus hidup mereka. Doa adalah senjata mereka sedangkan shalat dan sabar menjadi wasilah mendapat pertolongan Allah.
Firman Allah:
"Dan pohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat." (Surah Al Baqarah)
Dalam kondisi, positif maupun negatif, miskin atau kaya, berkuasa atau rakyat biasa, tidak dikenal atau populer, hati mereka tetap tenang. Firman Allah:
"Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang yang beriman, supaya keimanan mereka makin bertambah dari keimanan yang telah ada. Kepunyaan Allah pada langit dan bumi, dan Allah itu Maha Tahu dan Bijaksana." (Surah Al-Fath: 4)
Bila hati tenang terjadilah kondisi yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
Maksudnya: "Sangat menarik hati keadaan orang beriman, semua pekerjaannya baik belaka, dan itu ada hanya pada orang beriman: Jika memperoleh kesenangan, dia bersyukur. Dan itu memberikannya kebaikan (pahala). Jika ditimpa bahaya (kesusahan), dia sabar dan itu juga memberikannya kebaikan. " - Al Hadis
Memahami Maksud Takdir Allah
Mana mungkin kita menghindari dari diuji karena itu adalah takdir Allah SWT. Yang mampu kita buat hanya meningkatkan tingkat ketergantungan kita kepada Allah di samping berusaha sekuat tenaga menyelesaikan masalah itu. Ungkapan yang terkenal: We can't direct the wind but we can adjust our sail - kita tidak mampu mengontrol arah tiupan angin, kita hanya mampu mengontrol kemudi pelayaran kita.
Kemudi dalam perjalanan kehidupan kita adalah hati. Hati yang bersifat bolak-balik (terutama bila diuji) hanya akan tenang bila kita beriman kepada Allah - yakin kepada kasih-sayang, ampunan dan sifat pemurah-Nya. Dalam setiap takdir yang ditimpakan-Nya ke atas kita adalah berarti baik sekalipun terlihat negatif. Baik dan buruk hanya pada pandangan kita yang terbatas, namun pada pandangan-Nya yang Maha luas, semua yang ditakdirkan atas hamba-Nya pasti berarti baik.
Tidak salah untuk kita menyelesaikan masalah yang menimpa (bahkan kita dituntut untuk melakukannya), namun jika masalah itu tidak juga dapat diselesaikan, bersangka baik kepada Allah berdasarkan firman-Nya:
"Ada hal yang kamu tidak suka tetapi ia baik bagimu dan ada hal yang kamu suka tapi ia buruk bagimu, Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahuinya." (Surah Al Baqarah: 216)
Seorang ahli hikmah, Ibn Atoillah menjelaskan hakikat ini melalui katanya, "barang siapa yang menyangka sifat kasih sayang Allah terpisah dalam takdir-Nya, maka itu adalah karena pendeknya penglihatan akal dan mata hati seseorang."
Siapa tidak inginkan kekayaan, bahkan kita dituntut mencari harta. Namun jika setelah berusaha sekuat tenaga, masih miskin juga, bersangka baiklah dengan Tuhan ... mungkin itu caranya untuk kita mendapatkan pahala sabar. Begitu juga kalau kita ditakdirkan kita tidak berilmu, maka berusahalah untuk belajar, karena itulah maksud Allah menakdirkan begitu.
Kalau kita berkuasa, Allah inginkan kita melaksanakan keadilan. Sebaliknya, kalau kita diperintah (oleh pemimpin yang baik), itulah jalan untuk kita memberi ketaatan. Rupanya cantik kita gunakan ke arah kebaikan. Jelek? kita selamat dari fitnah dan godaan. Ya, dalam setiap takdir Allah, hati kita dipimpin untuk memahami apa maksud Allah di balik takdir itu.
Jadi, kita tidak akan merungut, stres dan tertekan dengan ujian hidup. Hayatilah kata-apa yang ditulis oleh Ibnu Atoillah ini: "Untuk meringankan kepedihan bala yang menimpa, ingin dikenal bahwa Allah-lah yang menurunkan bala itu. Dan yakinlah bahwa hasil (takdir) Allah itu akan memberikan yang terbaik."
Tadbirlah hidup kita baik, namun ingatlah takdir Tuhan selalu mengatasi admin insan. Jangan mencoba mengambil alih "pekerjaan Tuhan" yakni mencoba menentukan arah angin dalam kehidupan ini tetapi buatlah kerja kita, yakni mengontrol pelayaran hidup kita dengan meningkatkan iman dari waktu ke waktu. Kata bijak: "It's not what terjadi untuk Anda, but it's what you do about it. It is not how low you fall but how kualitas you bounce back!"
Mendapat Hikmah Bila Diuji
Hikmah adalah sesuatu yang tersirat dibalik yang tersurat. Hikmah dikaruniai sebagai hadiah paling besar dengan satu ujian. Hikmah hanya dapat ditempa oleh "mehnah" - didikan langsung dari Allah melalui ujian-ujian-Nya.
Rasulullah s.a.w. bersabda, "perumpamaan orang yang beriman ketika ditimpa ujian, bagai besi yang dimasukkan ke dalam api, lalu hilanglah karatnya (tahi besi) dan tinggallah yang baik saja!"
Jika tidak diuji, bagaimana hamba yang taat itu hendak mendapat pahala sabar, syukur, reda, pemaaf, qanaah dari Tuhan? Maka dengan ujian bentuk inilah ada di kalangan para rasul ditingkatkan ke derajat Ulul Azmi - yakni mereka yang paling gigih, sabar dan berani menanggung ujian.
Singkatnya, hikmah adalah karunia termahal di balik ujian buat kaum para nabi, siddiqin, syuhada dan solihin adalah mereka yang selalu diuji.
Firman Allah: "Apakah kamu mengira akan masuk ke dalam surga sedangkan kepadamu belum datang penderitaan sebagai ¬ mana yang diderita orang-orang sebelum kamu, yaitu mereka ditimpa kesengsaraan, kemelaratan dan kegoncangan, sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya merintih: "Bilakah pertolongan Allah?" (Surah Al Baqarah: 214)
Pendek kata, untuk orang beriman, ujian bukanlah sesuatu yang negatif karena Allah selalu memiliki maksud-maksud yang baik di sebaliknya. Malah dalam keadaan berdosa sekalipun, ujian didatangkan-Nya sebagai pengampunan. Sedangkan dalam kondisi taat, ujian didatangkan untuk meningkatkan derajat.
Justru, telah sering para muqarrabin (orang yang dekat dengan Allah) pada hikmah ujian dengan berkata: "Allah melapangkan bagimu supaya engkau tidak selalu dalam kesempitan dan Allah menyempitkan bagi mu supaya engkau tidak hanyut dalam kelapangan, dan Allah melepaskan engkau dari keduanya, supaya engkau tidak tergantung pada sesuatu selain Allah. "
Bila keempat hal ini dapat kita miliki maka hati akan selalu riang, gembira dan tenang dengan setiap pekerjaan yang dilakukan. Selalu melakukan kerja amal, tolong menolong, bergotong royong, selalu berbicara benar, sopan dan hidup dengan berkasih sayang antara satu dengan lainnya.
Marilah kita bersihkan hati kita dari segala kotorannya dengan memperbanyak zikrullah. Itulah satu-satunya jalan untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Manusia memerlukan zikir umpama ikan perlu air. Tanpa dzikir, hati akan mati. Tidak salah memburu kekayaan, ilmu, nama yang baik, pangkat yang tinggi tetapi zikrullah harus menjadi inti dan dasarnya.
Insya-Allah, dengan zikrullah hati kita akan lapang sekalipun duduk di dalam pondok yang sempit apalagi kalau tinggal di istana yang luas. Inilah bukti keadilan Allah karena meletakkan kebahagiaan pada zikrullah - sesuatu yang dapat dicapai oleh semua manusia tidak kira miskin atau kaya, berkuasa atau rakyat jelata, jelek atau jelita.
Dengan itu semua orang layak untuk bahagia asalkan tahu arti dan dalam jalan yang sebenarnya dalam mencarinya. Rupa-rupanya yang di cari terlalu dekat ... hanya berada di dalam hati sendiri!
- Artikel iluvislam.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar