Senin, 13 Juni 2011
**~** Yang Lebih Indah Daripada Cinta! **~**
Telah ku katakan sebelumnya, dipercaya lebih utama dari dicintai. Dan itulah juga ungkapan yang sering diulang-ulang oleh mereka yang arif tentang cinta. Banyak yang kurang setuju dengan kata-kata ini. Masakan begitu, detik hati kita.
Teringat kembali detik mengetahui cinta kita telah diterima oleh si dia ... Ah, gembiranya saat itu. Dunia ini seakan tersenyum. Bulan, mentari dan bintang seakan turut bersama kita merayakan detik yang sangat indah itu. Bukankah dicintai lebih utama dari dipercaya? Hati kita berkata-kata.
Musim berlalu. Alam rumah tangga yang kita bina bersamanya menongkah arus ujian. Berbagai suka duka, pahit manis diharungi bersama. Kata orang, semakin tinggi pohon yang kita panjat, semakin kuat pula angin yang menggoyang. Maksudnya, semakin tinggi puncak kehidupan ini kita daki maka semakin banyak dan hebat ujian yang menggugah hati. Warna asli (true colours) kita dan pasangan kita akan terserlah. Pada ketika itu segala yang pahit, asam, busuk akan terserlah ...
Cinta semata-mata tidak akan mampu mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Pernikahan dimulai oleh cinta tetapi disempurnakan oleh tanggung jawab. Cinta itu satu rasa yang bertunjangkan perasaan. Perasaan tanpa kekuatan jiwa dan kematangan berpikir akan goyah saat menghadapi ujian. "Perasaan" adalah hamba yang baik tetapi tuan yang sangat buruk. Justru, jika ingin aman, pastikan perasaan "bekerja" untuk kita, bukan sebaliknya.
Akan tiba waktunya, sesuatu yang kita lihat indah sebelumnya tidak indah lagi kini. Jika kita hanya tergantung pada perasaan, cinta kita akan tergores. Pada saat itu cinta membutuhkan tanggung jawab dan tanggung jawab menuntut satu kepercayaan. Ketika cinta mulai goyah di pentas rumah tangga, tanggung jawab akan datang menyelamatkan "pertunjukan" dengan peran yang lebih efektif.
Coba bayangkan, ketika isterimu hamil, muntah, rambut kusut dan badannya tidak terjaga lagi karena menanggung derita periode mengandung, ketika mulutnya mulai becok mengasuh dan mengelola anak yang berderet selang setahun, atau ketika suamimu termenung memikirkan anggaran rumah yang semakin meningkat atau keceriaannya semakin menurun gara-gara sibuk mengejar agenda yang bertali arus ... Bagaimana? Masih berserikah wajah si dia seperti yang kita lihat pada malam pertama?
Atau lebih menguji lagi saat umur pernikahan semakin lanjut dan kita sudah menginjak usia senja. Pada saat itu darah tinggi, diabetes, tingkat kolesterol, obesitas dan malam-macam penyakit mulai bertamu. Mungkin kita aman, istri pula yang menghidapnya. Bagaimana? Sanggupkah kita menjaganya dengan setia? Membawanya ke rumah sakit memenuhi rutin perawatan, memastikan segala obat-obat dimakannya menepati jadwal, atau lebih "ekstrem" lagi terpaksa menyuap makan-minumnya ketika dia sudah terbaring sakit dan mengubah kain lampin karena dia sudah tidak mampu mengurus diri?
Cinta memang hebat, tetapi ia tidak dapat menandingi tanggung-jawab. Cinta yang hebat adalah cinta yang ditunjangi tangung jawab. Cinta itu untuk memberi bukan untuk menerima. Lafal, "aku terima nikah," oleh kita sebagai suami musim lalu bukan berarti kita menerima sebaliknya untuk memberi. Kita memikul tanggung jawab untuk memberi kasih-sayang, perhatian, pembelaan, didikan dan segalanya ...
Namun bagi si istri ... penerimaan mu sebagai pasangan hidupnya bukan artinya untuk kau menerima tetapi untuk memberi - memberi kesetiaan, kepatuhan, pembelaan dan seluruh jiwa raga mu untuknya. Kau telah membuat satu aku janji yang paling suci dan tinggi dalam hidup mu, bukan untuk seseketika tetapi untuk selamanya. Bukan hanya ketika suami mu bertubuh kekar, tetapi sampai dia terlantar. Bukan hanya ketika rambutnya hitam tersisir rapi, tetapi hingga rambutnya putih dan mungkin tidak tumbuh-tumbuh lagi!
Itu baru ujian eksternal. Belum lagi tes internal yang berbentuk cemburu, jemu, marah, curiga dan lain-lain "virus" hubungan. Berapa banyak hubungan yang terputus atau tinggal nyawa-nyawa ikan karena hilangnya kepercayaan.
"Aku cintakannya, tetapi aku curiga apakah dia setia dengan ku?"
"Tergodakah dia bila di belakangku?"
Itulah contoh dialog hati yang merasuk bila ada cinta tetapi kurang ada percaya. Fobia dan trauma ini sering melanda rumah tangga. Ia akan menyebabkan hilang bahagia.
Pernah Anda lihat si suami yang "diganggu" panggilan telepon oleh istrinya setiap selang 15 menit sekali? Aduh rimasnya. Betulkah itu karena cinta atau karena curiga. Pada hal cinta itu membebaskan bukan mengontrol. Jika kita benar cintakan suami atau istri, dan cinta itu ditunjangi oleh kepercayaan, kita tidak akan mengendalikannya bahkan kita akan membebaskannya. Terbanglah ke mana kau suka, insya-Allah kau akan kembali jua. Justru hati mu ... tetap di sini, di hati ku!
Ada si suami yang curi-curi memeriksa "inbox" dan "sent" ponsel istri kalau-kalau ada SMS yang mencurigakan? Ada pula istri yang menyelongkar setiap inci mobil suami takut-takut ada "efek" tinggalan perempuan lain. Pernah saya dengar ada suami yang menghancurkan segala tanda terima, tagihan, surat-surat kecil, dan setiap dokumen picisan dalam kantong dan kantong duitnya sebelum pulang ke rumah takut "diinterogasi" oleh istrinya?
"Ini tagihan makan, abang makan dengan siapa?"
"Lain macam saja mesranya SMS ini, ada apa-apa ke ni?"
"Eh, banyak yang abang beli ni. Tetapi kenapa nampak sedikit saja yang dibawa pulang ke rumah?"
Itulah pertanyaan-pertanyaan istri yang menyebabkan suami terkial-kial menjawabnya. Pada suami semua itu remeh temeh, tetapi tidak pada istri yang tidak percaya, semua itu dapat dijadikan modal "perang besar". Kalau si suami dicurigai ada di tempat yang tidak seharusnya ada atau pada waktu yang tidak sesuai, siap sedialah menghadapi hukuman jika gagal memberikan "alibi"!
Itulah gara-gara apakah istri tidak mempercayai suami atau suami tidak mempercayai istri atau keduanya sudah saling tidak percaya! Bukan karena tidak ada cinta tetapi karena hadirnya sebuah curiga akibat hilang rasa percaya. Sebab itu menurut penelitian, perceraian banyak terjadi tidak hanya pada pasangan yang sudah kehilangan cinta tetapi pada pasangan yang terlalu cinta.
Tidak mempercayai seseorang disebabkan dua faktor. Pertama, kita belum benar-benar mengenalinya. Kedua, karena kita telah benar-benar mengenalinya. Jika karena faktor satu, jalan terbaik adalah kenalilah pasangan Anda dengan lebih mendalam. Berkenalan kali pertama sebelumnya (seawal usia pernikahan) adalah untuk menumbuhkan bibit-bibit cinta. Tetapi perkenalan kali kedua, ketiga dan seterusnya yakni setelah usia pernikahan meningkat adalah untuk menyuburkan bibit-bibit percaya. Adalah salah sekali kalau kita beranggapan yang kita telah kenal pasangan kita dan terus menghentikan proses perkenalan. Sedangkan proses perkenalan dalam rumah tangga adalah "on going" (berkelanjutan) sifatnya.
Kenal itu sangat terkait dengan rasa cinta. Dan cinta sejati dalam sebuah rumah tangga adalah dibangun atas perkenalan tidak hanya dengan kebaikan pasangan kita tetapi juga dengan keburukannya. Ya, kita sanggup menerima bukan saja yang indah tetapi juga yang jelek di wajah batin pasangan kita. Keburukannya akan kita coba sama-sama atasi dan jika tidak, kita terima seadanya karena kita sadar kita menikah dengan manusia bukan malaikat.
Kita akan terus mempercayainya walau apa pun keadaan. Kita mengingatkan bila dia lupa dan membantunya sewaktu dia ingat. Jangan sekali-kali hilang kepercayaan. Selagi kita bertekad melanjutkan pernikahan sampai akhir hayat, pupuklah kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tanggung jawab dan tanggung jawab adalah oksigen cinta. Oksigen itulah yang akan memberi stamina ke cinta untuk terus kembara dari dunia hingga ke surga.
Jika Anda bertanya bagaimana memupuk kepercayaan? Jawabnya, kembalilah ke kepercayaan-kepercayaan yang dasar dan inti. Apa lagi jika bukan Rukun Iman? Binalah semua jenis percaya di atas enam kepercayaan itu. Jika suami dan istri percayakan Allah, dan sama-sama berpegang kepada kehendak-Nya, maka mereka akan saling percaya satu sama lain. Percayalah kepercayaan kepada Allah itu adalah kekakuan yang mengikat kepercayaan sesama manusia.
Sebab itulah kepercayaan juga disebut sebagai akidah - artinya kekakuan. Simpulan yang mempertautkan segala kebaikan. Ya, kepercayaan kita kepada Allah akan menyebabkan pasangan kita mempercayai kita.
"Ah, suami ku jauh. Tetapi aku percayakannya. Dia adalah mukmin yang teguh agama."
"Aduh lamanya kita berpisah. Namun istri ku, iman akan menjaga mu ..."
Bila hancur sebuah cinta berarti hancurlah satu kepercayaan. Bila hancur kepercayaan berarti hancurlah iman. Hai suami, wahai istri ... sekali lagi ku tegaskan inilah oksigen cinta. Dan untuk semua yang belum mengenal cinta (antara pria dengan wanita), burulah sesuatu yang lebih indah dari dicintai ... itulah dipercaya!
Bukankah nabi Muhammad itu lebih dahulu mendapat gelar "Al Amin" (dipercaya) sebelum menemukan srikandi cintanya Siti Khadijah?
- Artikel iluvislam.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar