Banyak pintu menuju maksiat, bertebaran pula para penjaja dosa yang mengumbar janji-janji kenikmatan. Tak hanya membuat betah para durjana untuk mengulangi dosa, tapi juga mengundang hasrat orang yang baru ngedrop iman tergiur untuk mencicipinya.
Awalnya Penasaran Lalu Coba-coba Pada dasarnya, manusia lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah untuk menjadi hamba bagi Penciptanya dan tunduk dengan aturan-aturan-Nya, naluri untuk menghindar dari maksiat dan dosa. Lantas kapan manusia mulai ‘menikmati’ dosa? Masing-masing tentu memiliki pengalaman yang berbeda, baik dari sisi waktu, faktor pemicu, maupun jenis dosa yang pada gilirannya menjadi kebiasaan dalam hidupnya.
Tak hanya oleh orang yang belum tahu, dosa tak jarang dilakukan oleh orang yang sudah mengerti hukum, juga paham tentang perkara yang dilarang oleh agama. Rasa penasaran lantaran belum pernah melakukan, sering menjadi awal dari dosa. Rasa penasaran itu bisa lahir dari bisikan nafsu yang terus ‘dikompori’ oleh setan, dan atau berpadu dengan banyaknya iming-iming dari luar. Penasaran seperti apa rasanya ‘ngefly’ oleh minuman khamr, lezatnya makan daging babi dan nikmatnya kemaksiatan lain seperti zina dan berjudi.
Sementara di luar, setan terus memberikan rangsangan. Menggambarkan kenikmatan dosa melalui gambar yang terpampang, film-film yang tertayang dan cerita-cerita yang tersebar. Hal ini semakin menguatkan nafsu orang untuk menjajalnya. Setanpun mulai memanfaatkan peluang. Dia berusaha menepis berbagai keraguan, menyingkirkan sensor-sensor keimanan yang masih tersisa di hati dan pikiran calon korbannya. Mungkin dengan memberi pengharapan masih adanya kesempatan untuk bertaubat, atau memberikan alibi yang terkesan masuk akal. Seperti ketika Adam penasaran terhadap pohon yang dilarang untuk didekati, maka Setan datang dengan membawa jawaban yang menyesatkan, meski sekilas tampak logis dan seakan ia berada pada pihak yang membela Adam,
“Dan Setan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam Jannah)”. (QS. al-A’raaf 19)
Begitulah, setan akan mencarikan seribu alasan ‘logis’ agar manusia tak ragu untuk mencicipi dosa. “Mumpung masih muda, toh hanya sekali, masih ada waktu untuk taubat, tak ada orang yang tahu, yang penting niatnya baik, cukup diambil manfaatnya, jangan hanya melihat sisi buruknya…” dan seabrek polesan yang membuat akal tersihir dan hati menjadi terlena, hingga akhirnya manusia termakan oleh propaganda setan, nas’alullahal ‘aafiyah.
Terkadang setan memanfaatkan peluang kebosanan seseorang dalam menjalani aktivitas kehidupan. Sasarannya adalah mereka yang belum merasakan kenikmatan ibadah meski telah menjalankannya, atau orang yang tidak membenci dosa meskipun belum mencicipinya. Lalu setan datang untuk ‘menasihatinya’, “Kamu tidak merasakan nikmatnya ibadah karena jalan hidupmu datar-datar saja. Coba kalau kamu menjadi ahli maksiat terlebih dahulu, seperti si fulan atau fulanah, pasti setelah taubat kamu akan merasakan manisnya keimanan..!” Tampak logis, berpihak dan berlagak sebagai penasihat yang bijak. Padahal, itu tak lebih dari perangkap, yang seandainya seseorang masuk ke dalamnya, sulit baginya untuk keluar.
Tatkala dorongan nafsu semakin kuat, pengaruh akal melemah, sementara dalih juga telah disiapkan, mulailah seseorang untuk mencoba mencicipi dosa. Satu langkah setan telah diikuti, sulit bagi si korban untuk kembali kecuali yang dirahmati Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nuur 21)
Akhirnya Ketagihan Dosa
Sekali mencoba, pasti dia akan merasakan satu di antara dua rasa yang berbeda, meski follow up dari coba-coba ini akhirnya sama juga. Mungkin ia tidak merasakan nikmat sebagaimana yang dia bayangkan sebelumnya. Ini membuatnya makin penasaran, maka dia terdorong untuk mencoba kali kedua untuk meyakinkannya. Atau sekali coba dia langsung mendapatkan rasa yang diharapkannya, maka diapun tergila-gila dan ketagihan untuk mengulanginya.
Seperti awal mula orang yang hobi berjudi. Awalnya coba-coba, siapa tahu mendapat ‘keberuntungan’. Jika ternyata menang, maka akan dijadikan sumber penghasilan, jika kalah, maka semakin penasaran untuk mencoba berulang-ulang. Harta ludes pun belum tentu menjadi alasan untuk berhenti berjudi, dia akan terus mengejar angannya meski harus dengan berhutang atau bahkan mencuri.
Dusta juga begitu. Bohong yang pertama seakan menjadi bibit unggul bagi tumbuhnya kedustaan berikutnya. Karena untuk menutupi kedustaan pertama seseorang akan melakukan dusta yang kedua, ketiga, keempat dan begitu seterusnya.
Apalagi dosa zina. Tidak mudah orang berhenti dari perbuatan keji ini jika terlanjur mencobanya. Karena ketagihannya itulah, maka hukuman bagi pezina di akhirat sangat sesuai dengan karakter mereka di dunia. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menuturkan,
“Ketahuilah bahwa balasan itu berbanding lurus dengan perbuatan. Hati yang telah terpaut dengan sesuatu yang haram, setiap kali dia berhasrat untuk meninggalkan dan keluar darinya, pada akhirnya kembali ke dosa semula.
Begitu pula dengan balasan baginya di barzakh maupun di akhirat. Pada sebagian riwayat hadits Samurah bin Jundub yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda,
‘Suatu malam aku bermimpi ada dua orang yang mendatangiku, lalu keduanya mengajakku keluar, maka akupun beranjak bersama keduanya. Ternyata aku melihat ada sebuah rumah yang dibangun seperti tungku, bagian atas sempit dan bagian bawahnya luas, sedangkan di bawahnya ada nyala api. Di dalam bangunan tersebut ada kaum laki-laki dan perempuan yang telanjang. Ketika api dinyalakan merekapun berusaha naik ke atas hingga hampir-hampir mereka keluar. Jika api redup merekapun kembali ke tempat semula. Sayapun bertanya: “Siapakah mereka?” Dia menjawab: “Mereka adalah para pezina.”
Maka perhatikanlah kesesuaian hadits ini dengan kondisi hati para pezina di dunia. Setiap kali mereka berkeinginan untuk bertaubat dan berhenti darinya, serta keluar dari tungku syahwat menuju kesejukan taubat, ternyata kandas dan mereka kembali lagi padahal hampir saja mereka keluar darinya.”
Tak terkecuali dosa-dosa yang lain, pada dasarnya dosa adalah bibit bagi dosa berikutnya, baik dengan jenis yang sama atau bahkan melahirkan dosa-dosa baru yang berbeda jenisnya. Hingga ada kaidah yang populer di kalangan ulama,
إِنَّ مِنْ عَقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهاَ
“Sesungguhnya, di antara hukuman bagi keburukan adalah lahirnya keburukan berikutnya. ”
Menjadi Pengikut Setan yang Setia
Seperti minum air laut, makin banyak minum akan terasa semakin haus. Begitulah gambaran orang yang kecanduan dosa setelah mencoba. tatkala kecenderungan terhadap dosa makin kuat mencengkeram, ketika itu ikatan ketaatan mulai longgar dan akhirnya pudar. Tak merasa bersalah saat menelantarkan kewajiban, merasa enjoy saat menjamah kemaksiatan. Intinya, dia telah menjadi pecinta dan pendukung kemaksiatan. Satu langkah setan lagi diikuti, makin sulit pula harapan dia untuk kembali ke jalan yang lurus.
Tinggal langkah terakhir, hampir-hampir dia sudah sejenis dengan setan, atau berbuat seperti yang diperbuat oleh setan. Ketika dia menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, lalu menghasung manusia kepada kemaksiatan dan menghalangi manusia dari ketaatan, maka dia telah memiliki karakter yang sama dengan setan, kafir dan menyeru kepada kekafiran, na’udzu billah.
Itulah siklus dosa yang boleh jadi tidak disadari, dari sekedar kecenderungan dan penasaran yang diikuti dengan coba-coba, akhirnya menumbuhkan kesenangan dan cinta dosa. Akhirnya, iapun berbuat seperti yang diperbuat oleh setan,
“Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (QS al-An’am 113)
Maka, bersabar untuk tidak mencoba dosa, meskipun berat, itu lebih ringan daripada dia harus bersabar menghadapi beratnya dorongan nafsu setelah dosa pertama dijamahnya. Semoga Allah melindungi kita dari dosa. Amien.
Abu Umar Abdillah ar-risalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar