بِالْخَشْيَةِ وَالتُّقَى وَمُخَالَفَةِ الْهَوَى وَمُلاَزَمَةِ اْلأَوْلَى
(72) Iman itu satu. Dalam hal pangkal iman, orang-orang yang beriman itu sama. Perbedaan (keutamaan iman) di antara mereka disebabkan oleh perbedaan rasa takut kepada Allah, ketakwaan, (ketahanan) menyelisihi hawa nafsu, dan (kekuatan) menetapi perkara yang utama.
Pernyataan Abu Jakfar ath-Thahawi, “Iman itu satu,” termasuk pernyataan yang—lagi-lagi—diperbincangkan para ulama. Pasalnya, pernyataan ini dapat berkonsekuensi membenarkan pengakuan seseorang bahwa imannya sama dengan iman para nabi atau bahkan iman para malaikat. Tentu saja maksud ath-Thahawi tidak berlebihan atau ghuluw seperti itu.
Ath-Thahawi seperti halnya Imam Abu Hanifah mendefinsikan iman secara bahasa. Sedangkan para ulama yang lain mendefinisikannya secara istilah syar’i, bahwa iman meliputi pembenaran dan keyakinan hati, ucapan lisan, serta amal anggota badan. Ath-Thahawi memaksudkan iman yang satu itu adalah tashdiq, pembenaran/kepercayaan hati. Inilah yang selanjutnya beliau sebut dengan ashlul iman, pangkal iman. Dasar yang dipakai adalah firman Allah,
“Kamu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang jujur.” (QS. Yusuf: 17)
Perumpamaan pangkal iman seperti pangkal akal. Orang-orang yang berakal sama-sama memilikinya dalam arti tidak gila. Hanya saja akal sebagian orang lebih baik dan lebih sempurna daripada yang lain.
Ada juga yang mengumpamakan iman dengan penglihatan. Tidak diragukan bahwa penglihatan orang-orang yang dapat melihat itu tidak sama. Ada yang sempurna, ada yang rabun dekat, ada yang rabun jauh, dan ada pula yang hanya dapat melihat di siang hari. Yang pasti semua sama-sama dapat melihat. Oleh karena itulah Abu Jakfar mengatakan, “Dalam hal pangkal iman, orang-orang yang beriman itu sama.” Beliau mengisyaratkan, orang-orang yang beriman itu sama-sama memiliki pangkal iman. Kesamaan itu hanya pada pangkalnya, bukan pada segala aspeknya.
Tashdiq yang utuh
Tashdiq atau pembenaran dengan hati harus utuh, tak boleh dikurangi dan tak dapat dibagi-bagi. Jika ia berkurang, yang ada adalah keraguan. Keraguan bukanlah iman. Ruang lingkupnya adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari Allah.
Barangsiapa membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW maka ia adalah mukmin dengan keimanan yang diketahui oleh Allah. Kemudian Allah mensyaratkan kepadanya agar mengikrarkan keimanannya itu dengan lisan. Agar dalam pandangan orang lain ia juga dipandang sebagai seorang mukmin di dunia. Jika ia tidak mau, meskipun di hatinya ia beriman, namun sebenarnya ia melakukan kekafiran. Yakni kekafiran juhud (penolakan) dan takdzib (pendustaan). Juhud dan takdzib adanya di dalam hati. Ini menunjukkan bahwa hati adalah tempat bersemayamnya (pangkal) iman, bukan pada lisan atau anggota badan.
Dari sini jelaslah bahwa iman—dalam pandangan ath-Thahawi—bukan hanya tashdiq atau pembenaran sebagaimana kekafiran bukan hanya takdzib atau pendustaan. Iman meliputi membenarkan, menyesuaikan, dan menaati; sebagaimana kekafiran juga meliputi mendustakan, membenci dan menyelisihi.
Bukti bahwa membenarkan juga terjadi dengan perbuatan adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, “Kedua mata berzina—zinanya adalah memandang, kedua telinga berzina—zinanya adalah mendengar, … sedangkan kemaluan membenarkannya atau mendustakannya.”
Pembenaran yang membuahkan amal hati dan amal anggota badan lebih sempurna daripada pembenaran yang tidak membuahkannya. Sebab sesuatu yang semestinya mendatangkan buah namun buahnya tidak datang, berarti sesuatu tadi lemah.
Barangsiapa yang diwajibkan menunaikan haji dan zakat misalnya, ia wajib mengimani dalam arti mengetahui apa yang diperintahkan dan meyakini bahwa Allah mewajibkan atasnya secara detail.
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang di hatinya ada tashdiq jazim (pembenaran yang kokoh), tiada syahwat atau syubhat yang mampu menandinginya, niscaya tidak akan muncul kemaksiatan dalam dirinya. Sebab jika syahwat atau syubhat telah dikalahkan, tidak mungkin seseorang itu bermaksiat. Sebaliknya hatinya akan mendorongnya untuk mengisi waktu dengan perkara yang dapat menjauhkannya dari kemaksiataan.
Oleh karena itulah Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seseorang berzina, ia bukanlah seorang mukmin.” Maknanya, pembenarannya yang sejati terhadap keharaman zina sedang hilang; meskipun pangkal kebenaran ada pada dirinya. Setelah ia bertaubat dan beristighfar, pembenarannya pun kembali.
Orang-orang yang beriman, sebagaimana dinyatakan oleh Allah, “apabila ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raf: 201)
Mujahid berkata, “Ini tentang seseorang yang berhasrat untuk berdosa, lalu ia ingat Allah sehingga ia meninggalkannya. Syahwat dan kemurkaan adalah pangkal keburukan. Jika seseorang memandangnya dengan bashirah (mata hati), ia akan kembali.”
Faktor pembeda
Perbedaan tingkat keimanan orang-orang yang beriman disebabkan oleh ketidaksamaan derajat cahaya tauhid—ath-Thahawi mengungkapkannya dengan: rasa takut kepada Allah, ketakwaan, ketahanan menyelisihi hawa nafsu dan kekuatan menetapi perkara yang utama—yang ada di dalam hati mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Ada yang cahaya tauhidnya seperti matahari, ada yang seperti cahaya bintang kejora, ada yang seperti obor besar dan ada pula yang seperti cahaya lilin yang redup. Semakin besar cahaya ini semakin mampu pula ia membakar berbagai fitnah syubhat dan syahwat. Seorang yang cahaya tauhidnya besar, langit hatinya dijaga oleh pelontar api dari kejahatan pencuri. Kelak pada hari Kiamat cahaya itu akan berkilau di kanan dan di depan mereka sekadar dengan keberadaannya di dalam hati saat mereka masih di dunia, sekadar dengan ilmu dan amal mereka.
Kita pun tahu bahwa Allah mengaitkan keberuntungan dan kemenangan sejati pada ucapan syahadat yang disertai dengan keikhlasan dan mengamalkan berbagai konsekuensinya.
Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada ilah yang hak selain Allah,’ dengan hanya mengharapkan wajah Allah.” (Hadits shahih sebagaimana dinyatakan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 1793)
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits-hadits di atas mansukh. Ada pula yang menyatakan bahwa hadits-hadits itu berlaku ketika berbagai syariat belum ditetapkan, atau yang dimaksud dengan masuk surga adalah kelak orang yang mengucapkannya akan masuk surga juga, meskipun harus masuk neraka dulu. Padahal tidak demikian adanya. Rasulullah SAW tidak memaksudkan ucapan itu sebagai ucapan semata tanpa pembuktian. Ini adalah sesuatu yang jelas. Orang-orang munafik yang mengucapkannya dengan lisan mereka, tetapi mereka menjadi penghuni dasar neraka.
Rasulullah SAW juga bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَة أعلاها قَوْلُ لاَ إِلَه إِلاَّ الله وَأَدْنَاهَا إِمَاطَة الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu terdiri dari tujuhpuluh sekian cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan ‘Tidak ada ilah yang hak selain Allah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan.” (Hadits shahih riwayat Muslim dan Ibnu Majah)
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang palilng baik akhlaknya.” (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
Lantaran iman meliputi pokok dan berbagai cabang, dan setiap cabang disebut iman, maka shalat juga disebut iman, demikian pula zakat, shiyam, haji, dan berbagai amal batin seperti malu, tawakal, takut kepada Allah. Di antara cabang-cabang itu ada yang membuat iman hilang jika ia hilang—seperti cabang dua kalimat syahadat, dan ada pula yang tidak—seperti cabang membuang rintangan dari jalan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar