Hidayah memang salah satu misteri takdir yang tak terduga. Siapa sangka orang yang tak pernah beribadah seumur hidupnya. Tapi, di ujung hayatnya Allah SWT membuka hatinya untuk memeluk Islam dan mengamalkan satu atau dua amalan.‘Sedikit’ amal tersebut ternyata bisa menjaminnya masuk jannah, insyaallah.
Abu Hurairah menceritakan kisah seorang pemuda bernama Ushairim dari bani Abdil Asyhal. Sebagai catatan, ia enggan memeluk Islam sebagaimana kaumnya. Ketika pecah perang Uhud beliau turut bahu membahu membela Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Dia menyerang musuh dan memberikan perlawanan sehingga terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir dia ditanya tentang motif keikutsertaannya pada perang uhud. “Apakah untuk mengangkat nama bani Abdil Asyhal atau untuk membela Islam?” Ia menjawab, “Aku mencintai agama Islam. Aku telah beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Lalu aku masuk Islam dan mengangkat senjata untuk berperang bersama Nabi SAW.” Rasulullah SAW yang mendengar penuturannya berani menjamin Ushairim sebagai ahlu jannah atau penghuni surga.
Kisah di atas menunjukkan bahwa Allah SWT sungguh berkuasa terhadap nasib dan takdir manusia. Tidak sedikit orang yang dhahirnya buruk, hidup bergelimang dosa, hingga orang lain menyangga tidak ada sisi kebaikan dalam dirinya. Namun, orang tersebut berhasil berubah di ujung hayatnya dan menjadi ahlu jannah. Begitu pula sebaliknya, ada orang yang menghabiskan umur dan waktunya dalam beribadah. Namun, karena setitik dosa kekufuran seluruh amalnya gugur dan ia termasuk ahlun nar atau penghuni neraka.
Dalam Islam ukuran seseorang baik atau buruk adalah bagaimana kondisi seseorang di akhir hayatnya. Akhir yang baik disebut dengan khusnul khatimah. Sedangkan kebalikannya yaitu suul khatimah. Rasulullah SAW bersabda,
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ
“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. (HR Bukhari)
Hal ini kadang membuat sebagian orang over estimate terhadap ampunan Allah SWT. Ia pun mengabaikan kewajiban yang harus ditunaikan. Umur dan waktunya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan mengejar kenikmatan hidup. Ia menganggap bahwa saat ini merupakan waktu bersenang-senang, sebab masih ada hari esok untuk bertobat dan kebaikan di hari tua nanti akan menghapus segala kesalahan terdahulu. Namun, siapakah yang bisa menjamin bahwa ia masih hidup hingga hari esok?
Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan seseorang harus menakar kadar raja’ atau pengharapannya kepada Ampunan Allah SWT dan kadar khauf atau takut kepada Allah SWT dengan tepat. Selain itu, khusnul khatimah bagi ahlu maksiat belum tentu terjadi pada setiap orang. Sebab, Kebaikan di ujung hayat merupkan tanda Allah SWT menginginkan seseorang menjadi baik. Dalam sebuah hadits disebutkan.
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَمِقِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَسَّلَهُ .؛ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَ مَا عَسَّلُهُ ؟ ، قَالَ : يَفْتَحُ لَهُ عَمَلاً صَالِحًا بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ ، حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ مَنْ حَوْلُهُ.
Dari Amru bin al hamiq mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah SWT menginginkan seorang hamba menjadi baik, dia membuatnya terpuji.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah SAW bagaimana Allah SWT membuatnya terpuji?” “Allah SWT membuka pintu amal shalih di ujung hayatnya sehingga orang di sekitarnya ridha kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Hadits di atas minimal menunjukkan dua hal. Pertama, kesempatan menjadi baik merupakan bentuk hidayah yang diberikan kepada orang tertentu. Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, faktor yang menyebabkan orang shalih mengalami suul khatimah adalah (ad-dasiysah) makar atau maksud kotor tersembunyi dalam hati. Hal tersebut memang tidak bisa dibaca oleh orang lain karena tidak tampak. Namun, dampaknya mempengarhui nasibnya di akhir hayat.
Kebalikannya, ahlu maksiat yang memperoleh nikmat husnul khatimah, ada orang yang memiliki karakter atau kebiasaan baik yang tersembunyi. Kebaikan tersebut baru nampak saat ajalnya telah mendekat dan membuatnya berhak mendapatkah akhir yang baik.
Kedua, jenis kebaikan yang mendatangkan husnul khatimah. Akar kata `assalahu yang bermakna membuatnya terpuji dalam hadits di atas, hampir sama dengan kata asal `asal yang berarti madu. Madu yang merupakan jenis makanan yang sangat bermanfaat. Jika madu dicampurkan dengan makanan atau minuman lain, membuatnya menjadi berasa manis. Secara tersirat Rasulullah SAW mentamsilkan amal shalih tersebut dengan madu untuk menunjukkan jenis amal shalih yang berpahala besar. Manfaat amal tersebut berguna bagi diriya dan orang lain disekitarnya. Oleh karena itu, amal tersebut memperoleh balasan yang besar meski amalnya kecil. Rasulullah SAW bersabda,
عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا
“Beramal sedikit, namun memperoleh pahala yang banyak.” (HR. Bukhari)
Ibnu rajab mengatakan bahwa secara umum, suul khatimah atau khusnul khatimah merupakan buah dari perbuatan yang dilakoni sepanjang hidup. Karena itu, para ulama pada zaman dahulu sangat mengkhawatirkan nasibnya saat sakaratul maut dan mencemaskan akibat perbuatan yang dulu pernah dilakukan. Seorang ulama makkah bernama Abdul Aziz bin Abu Ruwad menceritakan bahwa beliau pernah menjenguk orang yang sedang sekarat. Orang-orang disekitarnya memandunya mengucapkan kalimat tahlil. Namun, kalimat tersebut tak mampu ia ucapkan. Kalimat terakhir yang keluar justru ucapan kekufuran. Abdul Aziz pun menanyakan latar belakang orang tersebut. Menurut orang di ruangan tersebut, pada waktu hidup dia adalah pecandu miras. Sehingga lidahnya menjadi kelu saat tak dapat mengucapkan kalimat tahlil. Oleh sebab itu Abdul Aziz bin Ruwad memberi nasehat, “Berhati-hatilah, karena maksiat menyebabkan suul khatimah.” Wallahu A’lam.
ar-risalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar