Ibnu Hibban meriwayatkan, bahwa Nabi Ayyub AS terjangkit penyakit selama delapan belas tahun. Hingga orang-orang dekat maupun yang jauh mengasingkan beliau. Kecuali dua orang dari saudaranya. Di mana keduanya setiap pagi dan sore menjenguk beliau. Suatu hari, salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ”kamu tahu, demi Allah Ayyub telah melakukan suatu dosa yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di alam ini.” Temannya berkata, ”Apa itu?” Dia menjawab, ”Sejak delapan belas tahun Allah tidak mengasihi dia.” (Silsilah ash-shahihah, al-Albani menyatakan ’shahih’) Perbincangan itu sampai ke telinga Ayyub AS. Namun, semua itu tidak menyurutkan harapannya kepada Allah. Beliau ridha atas ketetapan Allah, dengan tetap optimis, bahwa Allah akan mengasihi dan menolongnya.
Subhanallah, selama delapan belas tahun, beliau menjaga prasangka baiknya kepada Allah, dan tak pernah turun kadarnya dengan interval waktu yang begitu lama. Hal yang barangkali seandainya terjadi di antara kita (nas’alullahal ’aafiyah), harapan segera pupus setelah beberapa lama berusaha dan berdoa. Atau minimal terjadi pergulatan hebat antara keyakinan, keraguan dan bahkan ketidakpercayaan. Namun, tidak demikian dengan Nabi Ayyub AS. Hingga suatu hari, Allah mewahyukan kepada beliau, ”(Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. (QS. Shaad 42) Begitulah, kemudian beliau sembuh total, seperti tidak pernah sakit sebelumnya, dan bahkan keadaannya lebih baik dari sedia kala.
Prasangka Menjadi Nyata
Apa yang dialami Nabi Ayyub alaihis salam itu menguatkan kebenaran hadits qudsy, di mana Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى
”Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR Bukhari)
Selagi seseorang berharap sembuh kepada Allah, dan terus terjaga prasangka baiknya kepada Allah, niscaya Allah akan menyembuhkannya. Begitu pula sebaliknya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, di mana ketika Nabi menengok seorang badui yang sedang sakit, beliau mengatakan, “la ba’sa, thahuurun insya Allah!”, tidak apa-apa, menjadi pembersih (dosa) in syaaAllah. Tapi, si badui itu malah menyanggah dengan kata-kata, “(Penyakit ini menjadi) pembersih katamu? Bukan, ini adalah demam tinggi yang menyerang si tua renta dan akan mengantarkannya ke dalam kubur!” Nabi saw menjawab, “na’am idzan”, ya, baiklah kalau begitu. Maka sakit itupun menyebabkan si badui itu wafat. Begitulah, buruk sangka menghasilkan hasil yang buruk, sebagaimana berbaik sangka kepada Allah membuahkan hasil yang diinginkan.
Betapa sering manusia menghadapi masa-masa menentukan seperti itu; antara sembuh dan tidak sembuh, antara selamat atau tidak selamat, antara optimis dan pesimis, antara berharap dan putus asa. Dan kesudahan yang akan terjadi, sangat bergantung dengan persangkaan dalam hatinya.
Dalam hal perolehan manfaat juga seperti itu. Manusia sering diuji persangkaannya kepada Allah, antara berhasil atau gagal, pesimis ataukah pesimis. Kemana arah persangkaannya, di situlah hasil yang akan dipetiknya.
Begitu pentingnya husnuzhan kepada Allah, hingga Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya ”Husnuzhan Billah”, menyebutkan 151 dalil baik berupa ayat maupun hadits, yang kesemuanya menghasung kita untuk optimis dalam berpengharapan, meninggalkan pesimistis dan putus asa, dan senantiasa konsisten dengan prasangka yang baik.
Karena Prasangka adalah Doa
Prasangka kepada Allah, tidak sama dengan prasangka kepada selain-Nya. Karena semua makhluk terbatas kemampuannya, sedangkan Allah, kuasa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Berbaik sangka kepada Allah tidak saja menimbulkan semangat berusaha lantaran luasnya harapan dan kesempatan. Namun hakikatnya, prasangka itu adalah permohonan dan doa. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan efek prasangka dalam usaha dan pengharapan, “Setiap kali seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka harapanpun yang muncul adalah yang baik-baik, tawakalnya kepada Allah menjadi kokoh. Maka Allah tidak akan menyia-nyiakan keinginannya sedikitpun. Allah tidak akan menelantarkan orang yang berusaha dengan dilandasi optimis dan prasangka yang baik (kepada-Nya). Maka tidak ada yang lebih melapangkan dada setelah iman kepada Allah, selain percaya penuh kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan selalu berbaik sangka kepada Allah.”
Bahkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu atas dasar hadits qudsy di atas berkata, ”Demi Allah yang tiada ilah yang haq kecuali Dia, tiada seorangpun berbaik sangka kepada Allah, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang disangkanya, karena kebaikan ada di tangan-Nya.” (Atz-Tadzkirah, imam al-Qurthubi)
Maka selayaknya seorang muslim tidak pernah melepaskan husnuzhannya kepada Allah dalam meraih segala kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam hal perolehan rejeki misalnya. Tak selayaknya seorang muslim khawatir dan takut jatuh dalam kemiskinan. Seakan rejekinya bergantung kepada manusia, musim, atau lingkungan di mana ia tinggal di dalamnya. Buruknya persangkaan ini justru menjadi penyebab sejati, seseorang akhirnya menjadi miskin papa. Karena tatkala ia merasa peluang ma’isyah sempit, menjadi sempitlah harapannya. Kemudian akan menjalar pada lemahnya usaha dia untuk mencari karunia dari Allah. Andai saja dia berbaik sangka, bahwa Allah kuasa membagikan rejeki kepada siapapun, kapapun dan seberapapun, niscaya keadaan akan berubah. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menahan tatkala Allah menghendaki untuk menganugerahkan rejeki kepada kita.
Begitupun sebaliknya, tak ada satupun orang hebat, orang kaya, orang yang memiliki lapangan pekerjaan, tidak pula kondusifnya ekonomi sekitar bisa mendatangkan rejeki kepada kita, jika Allah menahannya.
Allah berfirman,
”Atau siapakah dia yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizki-Nya? (QS.al-Mulk :21)
Begitupun ketika seseorang berada dalam ancaman, ketakutan dan kekhawatiran atas bahaya yang mengancam. Apa yang menjadi kenyataan pada akhirnya, tergantung persangkaan di awalnya. Orang-orang yang merasa berputus asa untuk berusaha, pun telah pupus harapannya kepada Allah, hanyalah orang yang lemah imannya terhadap kekuasaan-Nya. Merekapun jutsru mendatangi dukun, mengalungkan jimat dan menempuh hal-hal yang jauh dari nalar, jauh dari iman. Allah mencela orang-orang musyrik yang meragukan kekuatan dan kekuasaan Allah, lalu berpaling kepada sesembahan selain Allah,
”Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS az –Zumar 67)
Simaklah bapaknya kau muwahhidin, Khalilullah Ibrahim alaihis salam. Betapa kuat persangkaan baiknya kepada Allah. Bahwa tiada suatu kekuatanpun yang kuasa menahan kehendak-Nya, betapa pula tipu daya manusia itu lemah dan remeh di hadapan kekuasan-Nya. Tatkala Ibrahim alaihis salam dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala, beliau yakin, Allah akan menyelamatkannya dengan cara yang dikehendaki-Nya. Diapun menyerahkan keselamatannya kepada Allah dengan berucap, “hasbunallah wa ni’mal wakil”, cukuplah Allah sebagai penolong, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung. Apa yang terjadi setelahnya? Allah membalas lunas persangkaan baik Ibrahim alaihis salam kepada Penciptanya,
“Kami berfirman:”Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan itu mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS al-Anbiya’ 69-70)
Baik Sangka Hingga Ajal di depan Mata
Husnuzhan kepada Allah, senantiasa berkhasiat sepanjang hayat. Bahkan, di detik-detik akhir kehidupan manusia, husnuzhan lebih dibutuhkan lagi. Karena kegentingan yang dihadapi tak tertandingi. Itulah saat yang paling menakutkan, mengkhawatirkan, sekaligus menentukan apa yang akan terjadi sesudahnya. Maka Nabi saw memperingatkan dengan serius, untuk menjaga husnuzhan sampai titik penghabisan. Beliau bersabda,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
”Janganlah salah seorang di antara kamu mati, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” (HR Muslim)
Anas bin Malik juga menceritakan, bahwa Nabi saw menjenguk seorang pemuda yang sedang menghadapi sakaratul maut, lalu belia bertanya, “Bagaimana keadaan dirimu?” Orang itu berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berharap (baik) kepada Allah, dan saya takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah berkumpul dua hal itu terkumpul dalam hati seorang hamba di saat seperti ini, kecuali Allah memberikan karunia sebagaimana yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti.” (HR Tirmidzi, Syaikh al-Albani mengatakan, “hasan”)
Begitulah dahsyatnya prasangka kepada Allah, maka silakan berprasangka kepada Allah, sesuai dengan apa yang Anda suka.
Wallahu a’lam.
(Abu Umar Abdillah) ar-risalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar