وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ
”Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. az-Zumar: 47)
Suatu malam, Muhammad bin al-Munkadir khusyuk dengan shalatnya. Beliau banyak menangis hingga keluarga mengkhawatirkan keadaannya. Di sela-sela shalat, keluarga bertanya penyebab tangisannya. Namun tak ada jawaban, selain bertambah histeris tangisannya. Keluarga pun berinisiatif mengundang Abu Hazim RHM, seorang ulama sekaligus teman dekat Muhammad al-Munkadir. Dengan harapan beliau bisa menenangkan dan menghentikan tangis Muhammad al-Munkadir.
Setelah bertemu, Abu Hazim bertanya, ”Apa sebenarnya yang membuatmu menangis, hingga keluargamu mengkhawatirkan dirimu?” Muhammad menjawab, ”Aku membaca al-Qur’an, lalu sampai pada suatu ayat.”
Ayat manakah itu? Tanya Abu Hazim penasaran. Lalu Muhammad bin al-Munkadir membacakan ayat yang dimaksud,
“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar:47)
Mendengar ayat dibacakan, kontan saja Abu Hazim turut menangis, hingga keduanya menangis bersama-sama. Keluarga Muhammad pun menggerutu, “Anda kami undang untuk menghentikan tangisnya, tapi justru Anda makin membuatnya menangis.”
Pernah pula seseorang memuji Sulaiman at-Taimy akan keshalihannya, ”Anda…siapa lagi yang bisa seperti Anda?” Beliau menyergah, “Janganlah Anda berkata seperti itu, karena saya tidak tahu, apa yang akan ditampakkan Allah kepadaku, karena Allah Azza wa Jalla berfirman, “ “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar:47)
Ayat ini begitu membekas di hati orang-orang shalih, membuat takut orang-orang yang hatinya lembut. Betapa tidak, mereka khawatir jika nantinya dihadapkan siksa yang tak terduga. Sungguh, kelak akan banyak orang-orang yang tercengang, kaget dan ketakutan. Banyak ahli tafsir menjelaskan, mengapa mereka terkejut dengan siksa yang tidak pernah mereka perkirakan.
Dikira Amal Baik, Ternyata Buruk
Sebagian ahli tafsir mengatakan, bahwa orang yang zhalim tidak menyangka bertemu dengan adzab lantaran, “Mereka mengerjakan amalan yang mereka anggap kebaikan, namun di akhirat ternyata dihitung sebagai keburukan.” Inilah pendapat Mujahid bin Jabr dan Fudhail bin Iyadh. Kesalahan anggapan itu bisa dikarenakan cara yang ditempuhnya salah, bisa juga karena salah niat. Salah cara, karena dia mengasumsikan kebaikan dan berbuat baik menurut versinya, atau ikut-ikutan kebanyakan orang, bukan mengikuti syariat yang digariskan. Atau dia menyangka telah menjalankan sunnah, padahal yang dilakukan adalah bid’ah.
Adapun salah niat, bisa jadi amalnya sesuai syariat, tapi dia bermaksud riya’ dalam ibadahnya. Ketika membaca ayat tersebut, sebagian ulama berkata, ”Celakalah orang yang berbuat riya’ (pamer).”
Allah berfirman,
”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)
Dianggap Ringan Ternyata Berat
Sebab lain yang membuat manusia terkejut dengan siksa yang dihadapinya adalah, dia menganggap suatu dosa sebagai hal yang remeh, padahal di sisi Allah dihitung sebagai sesuatu yang besar. Allah berfirman,
”dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. an-Nur:15)
Selayaknya kita takut termasuk dalam kriteria ini. Berapa banyak dosa yang kita anggap sepele, lalu dengan ringan kita menjamahnya. Anas bin Malik berkata, ”Sesungguhnya kalian melakukan suatu perbuatan yang dalam anggapan kalian lebih ringan dari biji gandum, padahal di zaman Nabi SAW kami menganggapnya sebagai dosa yang membinasakan.” Ini beliau katakan kepada generasi tabi’in, dan masih hidup pula beberapa sahabat Nabi SAW, lantas bagaimana penilaian beliau sekiranya melihat realita di zaman ini?
Begitu biasa pemandangan haram disaksikan di televisi, dan hampir semua keluarga menikmati. Di sana penuh dengan tayangan mengumbar aurat, mempromosikan zina, menyebarkan gosip serta melestarikan khurafat dan kesyirikan. Seakan dianggap hiburan yang aman-aman saja. Belum lagi perilaku buruk dalam muamalah; curang dalam berjual beli, menipu timbangan, korupsi, bicara dusta dan pergaulan bebas dengan lawan jenis. ”Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah besar.”
Memang, sebagian pelaku itu juga memiliki amal ketaatan, tapi ketika menghadapi sesuatu yang diharamkan oleh Allah, tanpa beban mereka menjamahnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya ada di antara umatku yang datang dengan membawa pahala sebesar gunung Tihamah yang putih, lalu Allah jadikan laksana debu yang berterbangan.” Subhanallah, bagaimana amal kebaikan sebesar gunung menjadi debu yang berterbangan? Nabi menyebutkan,
أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
”Mereka adalah saudara kalian, yang berkulit seperti kulit kalian, mereka bahkan juga shalat malam sebagaimana kalian, tapi mereka adalah suatu kaum yang jika menghadapi apa yang diharamkan Allah, mereka menjamahnya.” (HR. Ibnu Majah, al-Albani menshahihkannya)
Mengira Kebaikan Lebih Banyak
Sebagian lagi nekad berbuat maksiat lantaran merasa masih banyak memiliki tabungan pahala. Mereka sangka kebaikan yang dikumpulkannya bisa menutupi kezhaliman yang diperbuatnya. Tapi pada hari Kiamat mereka melihat kenyataan yang sebaliknya. Raslullah SAW bersabda, ”Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan pahala shalat, shaum maupun zakat. Namun dia juga mencela si fulan, menuduh si fulan, memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, memukul si fulan, lalu kebaikannya diambil untuk membayar ini dan itu. Hingga tatkala kebaikannya habis sebelum kezhalimannya lunas terbayar, maka dosa-dosa orang yang dizhalimi ditimpakan atasnya, dan iapun dilempar ke neraka.”
Jika demikian, alangkah pantasnya jika Muhammad bin Munkadir menangis membaca ayat ini. Begitupun dengan Abu Hazim, Sulaiman at-taimy dan juga Ibnu al-Jauzy. Lantas bagaimana dengan kita? Adakah kita merasa aman dari siksa yang tak disangka-sangka?
Rabbana zhalamna anfusanaa wa inlam taghfirlanaa watarhamna, lanakuunanna minal khaasiriin.(Abu Umar Abdillah) ar-risalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar