لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.(kepada mereka dikatakan):”Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik(Baldatun Thayyibah) dan (Rabb-mu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun”. (QS. Saba’:15)
Belasan tahun lalu, sering kita dengar optimisme para pembesar negeri mengungkapkan impian negeri ini sebagai negeri ideal dengan slogan ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur’, sebuah negeri yang baik, dan diberi ampunan oleh Allah.
Saba’, Negeri Percontohan
Seperti negeri Saba di era kejayaan dan kemakmurannya, hingga Allah menjadikannya sebagai percontohan dalam al-Qur’an. Tadinya, Saba’ adalah negeri yang aman, subur dan makmur . Bukan saja aman dari segala bentuk kriminal dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia, namun juga tak ada ancaman dari hewan-hewan yang berbahaya. Bahkan Allah membersihkan hewan-hewan pengganggu dari negeri itu. Imam asy-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menyebutkan dari Imam Abdurrahman bin Zaid RHM tentang firman-Nya, “Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka..”
Yakni, “mereka tidak melihat adanya nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular dan hewan (pengganggu) lainnya.” Dalam kontek kekinian, barangkali termasuk virus dan bakteri yang membahayakan.
Saba’ juga menjadi negeri yang sangat subur dan makmur. Dengan bendungan yang disebut sejarawan sebagai Bendungan Ma’rib, mengairi dua kebun yang terletak di sisi kanan dan sisi kiri wilayah mereka,
“yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS. Saba’: 15)
Ahli tafsir di kalangan tabi’in, Qatadah dan yang lain menggambarkan betapa subur dan makmurnya negeri Saba’, “Seorang wanita berjalan di bawah pepohonan dengan memanggul keranjang di kepalanya untuk mewadahi buah-buahan yang berjatuhan, maka keranjang itu penuh tanpa harus susah payah memanjat atau memetiknya.” Buah-buahan yang ada juga digambarkan dengan segala sifat kelezatan dan istimewa dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di dunia. Begitulah ’baldatun thayyibah’ bernama Saba’, yang sempat diimpikan masyarakat dan didongengkan para tokoh negeri ini.
Negeri Kita, Ada Kemiripan
Sekarang, slogan negeri yang baik itupun nyaris tak terdengar. Mungkin kurang percaya diri, atau malu untuk mengungkapkannya. Karena realita makin jauh dari impian. Harapan itupun seakan kandas sebelum mendekati titik yang diharapkan. Seakan potensi alam kita menjelma menjadi musuh dan dari arah itulah bencana dan musibah datang bergantian. Mengingatkan kita akan kondisi kaum Saba’ ketika mereka merubah syukur dengan kufur, maka dalam sekejap Allah menggantikan ni’mah (nikmat) dengan niqmah (bencana). Hujan lebat tiada henti, bendunganpun jebol dan terjadilah banjir besar. Firman Allah,
”Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’:16)
Berubahlah keadaan secara ekstrim, tak ada lagi rasa aman, tikus-tikus menggerogoti bendungan seperti yang disebutkan Ibnu Katsier. Tak ada lagi yang tumbuh selain pepohonan atau buah yang mereka tidak membutuhkannya atau tidak bisa memanfaatkannya.
Sungguh, dijadikannya Kaum Saba’ sebagai permisalan, agar kita mengambil pelajaran. Karena pada beberapa bagian, antara kita dan mereka ada kemiripan. Kemiripan dalam hal potensi alamnya yang subur, sekaligus kemiripan dari sisi musibah yang menimpa. Selayaknya kita berkaca diri, adakah kesamaan sebab antara Saba’ dan negeri kita, hingga kita juga mengalami bencana serupa?
Mungkin kita tak mau dipersalahkan, atau sebagian malah menganggap bahwa menghubungkan antara dosa dengan musibah hanyalah wujud simplifikasi (menggampangkan) masalah, atau bahkan dianggap tidak empati terhadap para korban bencana. Padahal, mengkaitkan bencana dengan dosa tidak berarti menuduh korban bencana itu menjadi biangnya dosa. Boleh jadi orang yang tidak terkena musibah juga turut andil dalam mengundang datangnya musibah. Baik dengan menyebarluaskan dosa, atau sekedar meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena kita ibarat penumpang dalam satu kapal, jika kita biarkan sebagian penumpang melobangi kapal untuk mendapatkan air, maka tatkala kapal tenggelam, tentu tidak hanya menimpa mereka yang melobangi kapal saja.
Menuju Baldatun Thayyibah
Meski telah kenyang dengan musibah dan kekhawatiran yang bertubi-tubi, Allah masih memberikan peluang kepada kita untuk bangkit. Menuju baldatun thayyibah, sekaligus wa Rabbun ghafuur. Kalimat Allah mengampuni, mengandung konsekuensi bahwa untuk mendapatkan situasi negeri yang baik, kita harus bersedia bertaubat dan memohon ampunan-Nya. Dengan terlebih dahulu mengakui kesalahan, kesombongan dan kelancangan kita yang telah mencampakkan hukum dan aturan-aturan-Nya. Harus ada penyesalan, bertekad untuk tidak mengulangi maksiat lagi, dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup baik secara personal, maupun komunal. Gairah untuk mencegah kemungkaran harus pula digalakkan, karena tanpanya, bencana belum akan dicabut, meski doa terus dilantunkan, Nabi SAW bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kamu mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan bencana atas kalian, kemudian kalian berdoa namun tidak dikabulkan.” (HR Tirmidzi, hadits hasan)
Rabbij’al haadza baladan aaminan, war zuq ahlahu minats tsamaraati man aamina minhum billah wal yaumil aakhir. Amien
(Abu Umar Abdillah) ar-risalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar